Dalam kitab Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid diterangkan bahwa salah satu faktor
yang menjadi pelarangan adanya akad pernikahan adalah kafir (Q.S. Al-
Mumtahanah:10). Mereka sepakat pada hal tersebut akan tetapi
terjadi ikhtilaf pada masalah pernikahan dengan ahli kitab, dimana para ulama
sepakat akan kebolehan menikah dengan ahli kitab akan tetapi Ibnu Umar melarang
hal tersebut.
Dalam hadis, penulis
hanya mendapatkan satu hadis tentang pernikahan beda agama yaitu:
حدثنا قتيبة حدثنا ليث عن نافع : أن ابن عمر
كان إذا سئل عن نكاح النصرانية واليهودية قال إن الله حرم المشركات على المؤمنين
ولا أعلم من الإشراك شيئا أكبر من أن تقول المرأة ربها عيسى وهو عبد من عباد الله
"Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Laits dari
Nafi' bahwa apabila Ibnu Umar ditanya tentang hukum menikahi wanita Nashrani
dan wanita Yahudi ia menjawab, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
wanita-wanita musyrik atas orang-orang yang beriman. Dan aku tidak mengetahui
adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita yang mengatakan
bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari hamba-hamba
Allah."
Hadis
di atas merupakan penafsiran Abdullah bin Umar akan Q.S. Al-Baqarah:122, ia
mengharamkan pernikahan beda agama. Berbeda dengan Ibnu Umar dan para ulama
yang mengharamkannya, seperti yang ditulis Abdul Muqsith Ghazali di dalam
artikelnya bahwa ada ada dua golongan lagi yang menghalalkan nikah beda
agamgolongan a. Salah satu dari kedua ulama tersebut ada yang berargumen bahwa
keharaman nikah beda agama itu dibatalkan dengan Q.S.
Al-Maidah : 5. Salah satunya mengatakan
bahwa nikah beda agama itu mutlak boleh tanpa adanya
perincian seperti golongan ulama yang membolehkan nikah beda agama yang pertama
tersebut.
Penulis
sepakat dengan Kang Miftah yaitu seorang penulis di Kompasiana yang tetap
mengahramkan pernikahan beda agama. Walaupun Abdul Muqsith Ghazali memaparkan
dalam artikelnya data-data tentang kesuksesan dan keberhasilan keluarga nikah
beda agama baik dari segi keluarga ataupun agama, akan tetapi seperti dikatakan
Farida Prihatini seorang pengajar hukum Islam UI yang dikutip Kang Miftah dalam
artikelnya “Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. U
matnya saja
yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak
ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan
ibunya. Farida jg menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun UU tidak
memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima
pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,Kantor
Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat
KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia.
“Secara hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar
negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara
tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil
tidak boleh melakukan pencatatan”.
Selain itu
pengharaman nikah antar
umat beragama merupakan
ijma’ dari ulama Indonesia yang diwakili oleh MUI, PP.
Muhammadiyyah, serta NU. Pengharaman tersebut juga didukung oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ibnu Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid
(Mesir:Maktabah al-Syuruq al- Dawliyah.2010) 413.
Al-Imam
Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih al-Bukhari, ed.Mahmud Muhammad Nassar
(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.2009) 993.
Hukum
Nikah Beda Agama Oleh
Abdul Moqsith Ghazali dalam
http://islamlib.com/id/artikel/hukum- nikah-beda-agama di unduh pada
hari Rabu, 13 Maret 2013. 03:24.
0 Comments