|
Fatima Mernissi |
Oleh: Jajang Jaeni,
Muhammad Hanif,
Nida Ikrimah
Pendahuluan
Pada pembahasan kali ini
akan menguak pemikiran Fatima Mernissi yang mana bentuk pemikiran dia tidah
jauh bebeda dengan femisin lain dia berusaha menyadarkan pembatasan antara
perempuan karena sex (jenis kelamin) membangn relasi gender yang adil antara
laiki laki dan perempuan juga melibatkan
perempuan dalam berbagai bidang. Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci
baik al-Qur’ān dan
Hadis didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika
berhubungan dengan masyarakat. Seperti misalnya hadis-hadis yang ia
sebut misoginis yang menyatakan posisi perempuan sama dengan anjing
dan keledai sehingga membatalkan salat sesorang,
dikarenakan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap posisi
Hadis tersebut. Pengalaman itu ia dapatkan waktu remaja di sekolah.
Dalam
karyanya yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia “ratu ratu islam yang
trerlupakan”membahas tentang Hadis kepemimpinan perempuan yang
membuatnya, dalam bahasa Mernissi sendiri,
"hancur" perasaannya setelah mendengarnya. Dorongan untuk
melacak hadis itu secara serius karena Hadis itu terlontar
dari pedagang yang ia tanya di pasar, apakah boleh perempuan
menjadi pemimpin. Sang pedagang begitu kaget dengan pertanyaan Mernissi
sampai menjatuhkan dagangan yang dibawanya secara tak sadar. Lalu sang
pedagang mengutip Hadis: "Tidak akan selamat suatu kaum yang
dipimpin oleh perempuan". Menurut Mernissi, peristiwa semacam
itu menunjukkan Hadis ini sudah sangat merasuk umat Islam. Sehingga
ketika perempuan menjadi pemimpin menjadi ramai diperdebatkan. Seperti
kasus Benazir Butho yang waktu itu menjadi Perdana Menteri di Pakistan. Padahal
al-Qur’ān
sudah mengungkapkan dengan jelas contoh Ratu Bilqis sebagai
pemimpin berjenis kelamin perempuan.
Dalam
kebanyakan karya-karyanya, Mernissi mencoba menggambarkan bahwa
ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi. Karenanya Mernissi pun percaya, penindasan
terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat, dan bukan
dari ajaran agama Islam. Makanya ia sangat berani dan tidak
takut membongkar tradisi yang dianggap sakral oleh masyarakat
selama ini. Banyak tulisan-tulisan lepasnya tentang perempuan yang menyuarakan
hal di atas. Misalnya bisa kita lihat dalam bukunya Rebellion's Women And
Islamic Memory, (London & New Jersey: Zed Books, 1996)
Biografi
Fatima Mernissi
Fatima Mernissi Dia lahir di fez, kota abad ke 9 maroko
pada 1940 yang terletak sekitar 5000 KM sebelag bara mekah dan 1000 KM sebelah
timur madrid. Dia di lahirkan ditengah-tengah harem dimana harem2 disana
dikelilingi oleh tembok-tembok yang tinggi dan hanya bisa melihat langit dari
taman.
Lahir pada tahun 1940 di Fez, Marokko. Ia tinggal dan dibesarkan dalam
sebuah harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara
perempuan lainnya. Sebuah harem yang dijaga ketat seorang
penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem
itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan.
Neneknya, Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah
sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada ibunya. Ayahnya hanya
punya satu isteri dan tidak berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi
seorang penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya
tetap tidak bisa baca tulis karena waktunya dihabiskan di harem. .
Mernissi
kecil ini lebih menerima keindahan agama lewat
nenek Yasmina, yang telah membukanya menuju pintu agama
yang puitis. Neneknya yang menderita insomnia selalu
bercerita tentang perjalanan hajinya. Dan dengan
semangat selalu bercerita tentang dua kota, Mekkah dan Madinah.
Kota yang selalu diburunya adalah kota Madinah sehingga kota yang lain
seperti Arafah dan Mina sering ia lewatkan hanya
karena ingin cepat-cepat menceritakan kota Madinah. Hal ini sangat
berpengaruh pada Mernissi kecil. Madinah kemudian menjadi kota impian
yang diobsesikannya.
Sikap
ini melekat pada Mernissi selama bertahun-tahun.
Menurut Mernissi, al-Qur’ān sebagai kitab suci agama Islam sangat
tergantung pada bagaimana perspektif dan resepsi (penerimaan) kita
terhadapnya. Ayat-ayat suci ini bisa menjadi gerbang untuk
melarikan diri atau bisa juga menjadi hambatan yang tidak bisa
diatasi. al-Qur’ān, kata Mernissi, bisa menjadi pembawa kita ke
dalam mimpi atau malah pelemah semangat belaka.
Sedangkan
Ibu Mernissi selalu mengajarkan kepada Mernissi kecil bagaimana bisa
bertindak dan bertahan sebagai perempuan: "Kamu harus belajar untuk
berteriak dan protes, sebagaimana kamu belajar untuk berjalan dan
berbicara," kata sang Ibu pada Mernissi. Dari sang ibu
juga ia mendapatkan cerita tentang bagaimana agar
perempuan bertindak cerdik dan bijaksana. Ibunya sering
menceritakan kisah-kisah dalam Seribu Satu Malam. Cerita ini
mengisahkan seorang sultan yang sangat menggemari dongeng. Dikisahkan,
Sultan Nebukadnedzar suatu ketika memergoki permaisurinya berzina dengan
pengawalnya.Sang Sultan marah lalu membunuh keduanya.Sejak itu Sultan membenci
perempuan. Hal ini membuatnya mempunyai kebiasaan buruk, yakni menikahi
perempuan di malam hari, dan keesokan harinya si isteri
tersebut harus dipancung. Begitu terus terjadi setiap hari.
Tak terbilang banyaknya gadis yang mati karena itu. Kebiasaan
ini berhasil dihentikan oleh seorang gadis
bernama Shahrazad, dengan memikat sultan lewat
cerita-ceritanya, sehingga sang sultan selalu mengurungkan niatnya untuk
memancung gadis itu.
Pemikiran Fatima Mernissi
Fatima Mernisssi mencoba
menafsirkan ayat al-Qur’ān surat al-aḥzāb ayat: 53 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah
Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu
masak (makanannya)], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu
(untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.
apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi),
Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih Suci bagi
hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat
besar (dosanya) di sisi Allah.
Berdasarkan pemahaman ulama terdahulu ayat tersebut terdapat
pemisahan bahwasanya hanya laki-laki yang boleh masuk sektor publik, sedangkan
perempuan hanya domestik. Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus
dibongkar dengan mengembalikan makna konteks historisnya yang menurutnya
penutupan perempuan dengan cadar dan pengucilan perempuan (ḥijāb) dari masyarakat bukan merupakan konstruksi sosial dari
masyarakat patriarki, karena tidak satupun dalam nash yang menyebutkannya dengan
jelas. Mernissi menelitinya dengan melihat asbābun nuzūl dari ayat tersebut, menurut dia ayat ini bukanlah justifikasi
pemisahan antara laki-laki dan perempuan, karena ayat ini turun ketika ia
menikah dengan zaynab ibn zahsi, rasulullah merasa risih dengan beberapa
sahabat yang tidak langsung pulang setelah menghadiri pernikahannya.
Kegelisahannyapun dijawab dengan turunnya surat al-aḥzāb: 53 tersebut.
Menurut Mernissi apabila kita lihat lebih
cermat ayat tersebut mempunyai penafsiran tentang penekanan Allah dalam hal
kebijaksanaan. Dia ingin mengajarkan aspek sopan santun yang nampaknya belum
membudaya pada masa itu.
Pemikiran Tentang Kepemimpinan Wanita
Contoh aplikasi Fatima Mernissi dalam
surat An-Nisā’ ayat 34 tentang kepemimpinan perempuan
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.
Apa dan mengapa gender?
Kontruksi sosial dan budaya yang sangat
menentukan perjalanan hidup laki-laki dan perempuan. Di dalam komunitas Muslim
yang sangat terpaku dalam peradaban teks misalnya, maka persepsi terhadap perbedaan
jenis kelamin tidak jarang banyak memunculkan perdebatan. Istilah perempuan
shalehah dengan berbagai standar dan kategorinya muncul kepermukaan dan wacana
umat islam tentulah bukan asal jadi.
Perempuan Indonesia tentu memiliki fenomena
yang cukup spesifik. Berabad-abad berada didalam naungan kolonialisme dan
berhati-hati dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Hingga membuat
kesimpulan bahwa hukum islam adalah sebuah kompromi penerapan menurut standar
kepatutan yang ada didalam komunitas tertentu. Itulah sebabnya perempuan tidak
dibolehkan menjadi pemimpin pada masa-masa tertentu.
Sementara di dalam islam, tantangan
untuk para perempuan yang berhadapan dengan beberapa problem mendasar seperti
budaya, akan menghadapkan interpretasi terhadap al-Qur’an dan hadis yang tidak
memihak kepada perempuan. Bahkan tidak sedikit para ulama yang hidup
dilingkungan pesantren dengan bergelimang kitab-kitab kuning pun yang belum
sensitif dengan persoalan penting yang satu ini yakni gender.
Fatima Mernissi dalam melakukan
penafsiran baik itu al-Qur’ān atau pun hadis menggunakan pendekatan
feminis. Yaitu ia selalu berusaha menyetarakan keberadaan atau status antara
laki-laki dan perempuan, termasuk ayat diatas. Latar belakang Fatima yang hidup
pada lingkungan yang menjunjung nilai bahwasaanya perempuan itu tidak bisa
bebas seperti halnya laki-laki ini yang membuatnya merasa tak adil. Menurut Fatima Mernissi ayat diatas adalah partiarki
yaitu memihak kepada laki-laki. Bahwasannya yang boleh menjadi pemimpin
hanyalah laki-laki. Baik itu pemimpin keluarga maupun pemimpin Negara.
Keberadaan kaum perempuan pada ranah politik menjadi berdebatan para ulama.
Pernah suatu ketika ketika ia sedang
berada disebuah warung di kota kelahirannya ia menanyakan kepada pemilik warung
bahwasannya “bolehkan seorang wanita menjadi pemimpin?”
penduduk Maroko yang kala itu sangat menjungjung hadis yang berbunyi “ Mereka
yang mempercayakan urusan-urusan mereka kepada kepada seorang wanita tidak akan
pernah merasakan kemakmuran”.
Berangkat dari hadis ini kemudian
Fatima melakukan penafsirannya melalui hadis-hadis yang juga terkesan
mengucilkan kaum perempuan. “tertindasnya hak suara wanita” hal inilah yang
menjadi awal dari petualangan Fatima dalam memahami lebih baik mengenai
ayat-ayat atau hadis-hadis misoginis,
yaitu hadis-hadis yang terkesan mengucilkan perempuan. Dalam hal ini Fatima berusaha lebih jauh untuk mengetahui tentang perawinya,
terutama, dalam kondisi bagaimanakah hadits ini pertama kali diucapkan, kapan,
di mana, mengapa dan kepada siapa hadits ini diucapkan?Hal ini lah yang disebut
dengan kajian historis-sosiologis.
Kaitannya
dengan hadis yang dijunjung oleh penduduk Maroko itu Fatima mengkritisi seorang
perawi yang bernama Abu Bakr.
Menurutnya
faktor-faktor kunci yang menjamin keberhasilan sebuah Negara tidak ditentukan
dengan jenis kelamin melainkan ditentukan oleh keadilan, pelaksanaan hak-hak
asasi manusia dan demokrasi, tidak terletak pada jenis kelamin kepala negaranya.
Nushūz adalah suatu konsep al-Qur’ān; artinya pemberontakan seorang istri terhadap kekuasaan
suaminya yang Muslim. Nushūz menurut
Fatima Mernissi adalah keputusan istri untuk tidak mematuhi hasrat suaminya
yang ingin melakukan hubungan intim sehingga nantinya akan menuntut untuk patuh
kepada suami; seksualitas.
Fatima Mernissi setuju dengan pendapat Fatna Sabbah yang mengatakan bahwa
kecantikan ideal dalam Islam adalah patuh, berdiam diri dan tidak bergerak
yaitu lembam dan pasif. Semua ini sama sekali bukan ciri-ciri watak yang sepele
juga tidak terbatas pada kaum wanita saja.orang beriman mencurahkan seluruh
hidupnya untuk mematuhi dan menyembah Tuhan dan menuruti kehendak-Nya.
Contoh aplikasi Fatima Mernissi
dalam surat An-Nisa ayat 128 tentang konsep nushūz yang dijelaskan dalam beberapa aspek. Dalam menjelaskan
nushūz dalam bahasa Arab,
tidak adanya padanan kata yang menjelaskan tentang pasangan terjadi perbedaan
linguistik yang memberikan suatu pesan yang sangat dijelaskan sehingga
menurutnya hal tersebut suatu mistifikasi,
suatu usaha untuk menyembunyikan tidak adanya pasangan dalam keluarga Muslim.
Pembatasan ruang adalah ungkapan fisik dari pemingitan kaum
wanita dari ruang publik yaitu ruang pengetahuan dan kekuasaan. Dengan adanya
ilmu pengetahuan maka wanita dapat berkarya di ruang publik sehingga akan
terpenuhinya kebutuhan keluarga. Namun, dalam hal ini wanita yang berkarya di
ruang publik tidak serta merta harus patuh kepada suaminya seperti wanita yang
ada pada masa awal dahulu di Arab. Seorang wanita yang tidak mau menuruti
keinginan suaminya untuk melakukan hubungan intim tidak dianggap memberontak
dikarenakan dia berkarya dan memberikan kontribusi untuk keluarga sedangkan
wanita yang dianggap melakukan nushūz adalah
wanita yang menolak apa yang diminta suami sedangkan dia tidak berbuat apa-apa.
Wanita dijauhkan dari pengetahuan yang dianggap suci dan kolektif yaitu
dijauhkan dari ruang tempat keputusan-keputusan dengan aturan Ilahi, perintah
yang telah dirumuskan dan hukum yang telah diundangkan.
Ketidakpatuhan seorang wanita menurutnya dianggap begitu
menakutkan didunia Muslim karena implikasi-implikasinya yang sangat besar.
Mereka mengacu kepada bahaya yang paling ditakuti di dalam Islam sebagai suatu
psikologi kelompok: individualisme. Masyarakat Muslim menolak tuntuan wanita
untuk mengubah kedudukan mereka.
Permberontakan kaum
wanita menimbulkan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan individualisme.
Pemberontakan kaum wanita dalam Islam bukan hanya tentang isu-isu gender dan
pembebasan kaum wanita namun hal ini berakar dari ketakutan ummah: ketakutan menyimpang. Ketakutan
individu yang menuntut kepentingannya sebagai sumber organisasi sosial yang
sah; ketakutan terhadap inovasi, perpecahan, hancurnya mitos solidaritas
kelompok dan semangat kolektif yang telah berabad-abad. Perlawanan masyarakat Muslim
terhadap perubahan kedudukan dan hak asasi kaum wanita jika tidak
mempertimbangkan fungsi simbolis kaum wanita sebagai perwujudan individualisme
yang berbahaya yang nantinya akan membawa kepada konsep bid’ah.
Pemikiran Fatima Mernissi VS Mufasir Klasik
Mengenai pemikiran Fatima Mernissi
tentang ḥijāb dalam
surat al- ahzab ayat: 53 yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut
menjelaskan tentang kebijaksanaan ataupun aspek sopan santun tentunya berbeda
dengan penafsiran klasik yang diberikan oleh ath-thabari.
Sedangkan
Menurut al-Qurṭubi ayat
ini mengandung pemahaman adanya pembagian ruang menjadi dua kawasan yaitu yang
memisahkan masing-masing dari laki laki yang ada saat itu, Nabi SAW. ha ini
diperoleh dari Aisyah RA. Yang berkata sebab turun ayat ini sebab karena Umar bin Khatab berkata
kepada Nabi SAW; hai Nabi sesungguhnya para istrimu bisa saja mendapatkan
kebaikan atau kemaksiatan, maka sebaiknya kamu diperintahkan mereka untuik berḥijāb, maka
turunlah ayat ini.
Dari sini
jelaslah bahwasanya maksud al-Qurṭubi tentang turunnya ayat tersebut untuk memberi penghalang antara
Nabidengan istrinya Zaynab sebagai perempuan sekaligus istrinya dengan Anas.
Dari sana memperoleh pemikiran bahwasanya yang boleh bertemu dengan Anas
hanyalah Nabisaja bukan istrinya. Itu berarti bahwasanya pemisahan antara laki-laki
dan perempuan dalam sektor publik memanglah harus ada. Hal ini berbeda dengan
penafsiran Fatima Mernissi bahwasanya pemisahan antar laki-laki dan perempuan
dalam sektor publik tidaklah harus ada maka ḥijāb tidaklah harus ada karena
ayat diatas bukanlah nash tegas yang menyatakan adanya ḥijāb antara laki-laki dan
perempuan disektor publik.
Al-Qurṭubi
dalam menafsirkan potongan ayat !$|¡ÏiY9$#n?tãcqãBº§qs%ÏãA%y`Ìh9$#, ” kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita”, adalah ini menunjukan kewajiban laki-laki dalam mendidik
istri-istri mereka, ketika istri telah patuh maka suaminya tidak boleh berlaku
buruk terhadapnya.
Al-Qurṭubi memaknai kata Qawwām adalah hiperbola. Dengan demikian kata Qawwam bisini di
maknai dengan mengurus sesuatu dan mengaturnya berdasarkan pertimbangan serta menjaga dengan
sungguh-sungguh. Wanita dilarang keluar rumah dan menampakan diri di luar. Hal
ini harus ditaati oleh wanita selama bukan maksiat.
Di dalam buku tafsirnya al-Qurṭubi disebutkan bahwasannya keutamaan laki-laki atas wanita
adalah kapasitasnya dalam intelektual dan keumumannya sehingga kaum laki-laki
diberikan kewajiban mengurusi wanita dalam hal itu. Dapat pula dikatakan
bahwasannya laki-laki itu memiliki kelebihan potensi dan tabi’at yang kuat yang tidak terdapat
dalam wanita.
Kemudian jika ditarik pada kepemimpinan
seorang perempuan, hal ini dipandang akan mengalami suatu masalah. selain alasannya seorang wanita itu
punya kapasitas yang berbeda. Ia bertabi’at lemah dan lembut sehinggga Allah SWT memerintahkan laki-laki untuk
mengurusi perempuan.
Hal ini berbeda dengan apa yang
diungkapkan oleh Fatima Mernissi. Dengan latar belakangnya
sebagai seorang sosiolog, Mernisi memang cenderung melihat segala sesuatunya
dari sudut pandang sosiologi. Ia hampir tidak melihat dari sudut pandang yang
lain,misalnya
teologi.
Berkaitan
dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, Fatima Mernissi melihatnya
lebih sebagai sebuah konstruksi sosial dari pada sebuah doktrin agama yang
bersifat murni. Dia melihat teks-teks agama yang dipandang otoritatif merupakan
sebuah produk pemikiran para ulama, sehingga harus dilihatnya sebagai hasil
final dan tidak dapat diganggu gugat.
Konsep
persamaan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya didasarkan atas
nilai-nilaiyang terkandung dalam naṣ.
Seandainya terdapat proses penyamarataan
peran perempuan dari kehidupan publik, atau perempuan itu sendiri, sebenarmya
merupakan hasil sebuah pemikiran yang
dibangun oleh sosial. Struktur sosiallah yang telah menciptakannya.
Apalagi struktur sosial yang demikian ini dijustifikasi oleh para ulama yang
akhirnya diabadikan, disakralkan dan diletakan yang seakan tidak boleh
ditafsirkan.
Selain
itu pemikiran Fatima Mernissi ini dipengaruhi juga oleh latar belakang
kehidupan semasa kecil bersama keluarganya. Pengaruh terbesar dari keluarganya
diberikan oleh neneknya, Yasmina. Yang mana menurut fatima sendiri neneknya
adalah orang pertama yang menyadarkan akan ketidakadilan akan perlakuan yang
menimpa wanita. Ibu Fatima pun percaya bahwasannya laki-laki dan wanita memiliki
potensi yang sama. Ibunya menekankan bagaimana cara betindak dan menjadi
perempuan yang bijak. Terlepas
dari itu fatima adalah salah satu wanita Maroko yang beruntung karena ia dapat
bersekolah sampai Amerika. Mungkin dari lingkungan dan latar belakang inilah
yang melahirkan fatima mernisi menjadi seorang penafsir modern yang fokus pada
kajian gender.
Al-Isbahani, seorang penulis pada abad
IV H (XI M), menceritakan kepada kita tentang kasus dari sebuah perjanjian
antara seorang penguasa dengan pujangga yang diminta untuk mengubah syair yang
dibuat sedemikian rupa sehingga, terkesan berasal dari Nabi dengan imbalan 4000
dirham pada masa itu. Syair tersebut dibuat untuk membesarkan citra marganya, Bani
Umayah, karena pada waktu itu Bani Umayah merasa bahwa Nabi adalah saingan
untuk merganya.
Kemudian laki-laki yang menyuruh mengubah
syair itu berkata: “ setelah menulis syairmu katakan bahwa kamu mendengar dari
ibnu Ṭabit (salah seorang penyair kepercayaan
Nabi) membacanya di depan Nabi SAW” pujangga itu berkata: “ kami sangat takut
kepada Allah berdusta atas Nabinya. Sebaliknya, kami hanya bisa mengatakan
bahwa kami mendengar Aisyah membaca syair tersebut. Hal ini dilakukan karena penyair tersebut tidak menganggap dan
memandang kedudukan Aisyah tidak begitu penting.
Tafsiran surat an-Nisa ayat 128 menurut aṭ-Ṭabari
Maksud ayat 128 surat an-Nisā adalah memahami benar suaminya “akan nushūz” yakni bersikap egois, diktator, dan sombong.
Adapun yang dikarenakan kebencian, adakalanya karena ketidaksukaannya terhadap
beberapa faktor diantaranya tidak cantik dan tua. Sikap tidak acuh sehingga
memalingkan wajahnya atau berpaling dari sebagian manfaat yang dimiliki istri
darinya, maka tidak mengapa keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, jadi tidak berdosa atas keduanya yakni seorang perempuan yang
khawatir akan nushūz dan sikap
acuh tidak acuh dari suaminya, untuk mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya –karena suaminya telah melewati hari-harinya, menyia-nyiakan
sebagian kewajiban istri yang sudah menjadi hak suami- meminta perdamaian atas
kejadian tersebut untuk tetap berada dalam ikatan pernikahan, menahan diri dari
akad pernikahan yang mengikat keduanya.
Perdamaian itu lebih baik maksudnya melakukan perdamaian
karena telah meninggakan sebagian haknya, terus menerus melakukan hak yang
diharamkan, dan menahan diri dari akad pernikahan, lebih baik daripada meminta
cerai atau perpisahan.
Maksud ayat adalah kaum istri yang kikir terhadap bagian diri
suami mereka dalam pembagian hari dan nafkah. Kikir sudah menjadi tabiat kaum
wanita dalam mempertahankan hak mereka dari suami karena perdamaian yang
dilakukan suami terhadap istri dengan memberikan tambahan nafkah supaya istri
rela tidak mendapat giliran tidak diperbolehkan.
Memberikan hadiah tidak diperbolehkan kecuali memberikan
ganti, adakalanya dengan benda atau dengan manfaat, dan seorang suami ketika
memberikan hadiah kepada istrinya atas kebesaran hatinya untuk memberikan satu
hari malam, bukanlah benda dan tidak bermanfaat, bukanlah benda dan tidak
bermanfaat.
Jika kamu bergaul dengan istrimu dengan baik maksudnya adalah
bersabarlah jika istrimu tidak cantik atau berperangai buruk namun penuhilah
hak-hak mereka serta perlakukanlah mereka secara baik. Dan kamu memelihara
dirimu dari nushūz dan sikap
tidak acuh maksudnya adalah takutlah kamu kepada Allah dalam urusan mereka
dengan menzhalimi mereka dalam hal kewajiban giliran, nafkah dan perlakuan
baik.
Kesimpulan
Dari pemikiran diatas dapat kita simpulkan bahwasanya dari
pemikiran fatima merrnissi sebagai feminism dalam menghadapi masalah ḥijāb dia cenderung bebas dan menginginkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Contohnya bahwa Fatima Mernisi
mengungkapkan dalam sudut pandangnya tidak ada larangan untuk seorang perempuan
menjadi pemimpin. Baik itu menjadi pemimpin untuk politik. Karena beliau
melakukan penafsiran baik itu al-Qur’an atau pun hadis menggunakan pendekatan
feminis. beliau selalu berusaha menyetarakan keberadaan atau status antara
laki-laki dan perempuan Fatima melakukan penafsirannya melalui hadis-hadis yang
juga terkesan mengucilkan kaum perempuan. Untuk itu beliau bersikukuh
berpendapat bahwa permpuan bisa dijadikan pemimpin.
Kita bisa kaitkan dengan Struktur
Pemerintahan Negara yang ada di Indonesia, sebagian besar para kadernya adalah
perempuan. Contohnya Gubernur Banten Hj. Ratu Atut Choisyah jika kita tinjau
dengan kenyataan yang ada memang tidak masalah karena realitas modern saat ini.
Tetapi pendapat pastilah berbeda meski perbedaan itu hanya terletak pada
interpretasinya saja. Tidak ada segala sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat
meski tingkat kemanfaatan berbeda-beda ukurannya menurut sudut pandang manusia.
Menurut kami, dari percakapan diatas
yang pernah terjadi dimasa itu. Seperti mengungkapkan bahwa kedudukan seorang
wanita itu memang tidak penting dan lebih baik berbohong atas nama perempuan
dari pada laki-laki. Sehingga pujangga tersebut mengungkapkan ia hanya bisa
mengatakan bahwa ia mendengar Aisyah membaca syair tersebut. Hal ini yang
membuat kami tidak setuju atas pernyataannya, ketidak setujuan kami disini
hanya berkaitan tentang apa yang dikatakan oleh pujangga tersebut. Akan tetapi
untuk kaitannya tentang gender kami lebih bercondong kepada pendapat al-Qurṭubi, yang sudah dipaparkan di atas.
Menurut kami, dibalik kesuksesan
seorang laki-laki pasti ada tangan-tangan lembut seorang wanita. Tidak bisa
dipungkiri dalam realitas sekarang ini bahwa kesuksesan seorang laki-laki pasti
didalamnya terdapat wanita-wanita yang shaleh. Begitupun yang terjadi pada Nabi
SAW atas keberhasilannya menyiarkan agama Allah, satu dari istri-isrti beliau
yang ikut berperan didalamnya adalah Khadijah Dan Aisyah. Mungkin inilah yang
menjadi sebagian alasan mengapa Fatima Mernisi bersikukuh menentang gender.
Alasan kami lebih setuju terhadap sudut pandang al-Qurṭubi, karena perempuanlah yang diyakini sangat
representative untuk mengerti dan
membicarakan keadaan dan kebutuhan kehidupan mereka sendiri dibanding
laki-laki. Seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, kesehatan
anak-anak,kepedulian terhadap anak-anak dan keluarga dan lain sebagainya.
Perempuanlah yang lebih pandai dan piawai
dalam mengurus hal tersebut. Serta adanya tugas dan penenpatan yang lebih
pantas yang memang telah dipaparkan oleh
al-Qurṭubi. Kami pun beranggapan demikian,
karena selama masih ada laki-laki mengapa harus menyelaraskan hal yang demikian
terhadap perempuan.
Bukankah menikmati hidup sebagai
makhluk tuhan yang dimuliakan 3 tingkat derajat lebih tinggi dibanding
laki-laki adalah nikmat Tuhan yang sangat luar biasa. dari pada berusaha
menjadi seorang pemimpin dan tidak menjadi dirinya sendiri atau bahkan
mengabaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang Anak, Istri dan seorang Ibu.
Menurut
pendapat kami, pemikiran Fatima Mernissi dalam hal nushūz sangat
menjawab tantangan yang ada pada saat sekarang ini karena kaum wanita yang
telah memiliki pengetahuan serta berkarya di ruang publik namun tidak
melepaskan diri dari tugas dan fitrahnya sebagai seorang istri. Pendapat yang
dikemukakan dalam tafsir ath-Thabari juga masih bisa dipakai karena pada saat
sekarang juga masih ada istri yang ada seperti masa awal Islam yang tinggal di
rumah dan tidak berkarya di ruang publik. Kedua pendapat ini saling melengkapi
karena saling mengisi kekurangan yang ada antara kedua pendapat tersebut.
Daftar
Pustaka
2 Comments
terimakasih gan informasinya, jadi tau. kunbalnya ya pakar-teknologi.blogspot.com/2016/08/ciputat-guru-ngaji-privat-bimbingan.html
ReplyDeleteok gan,,
Delete