PENDAHULUAN
Memasuki
abad kesembilan belas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah
memasuki dunia Islam, oleh karena itu dalam sejarah Islam dipandang sebagai fase
permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat mengakibatkan terbawanya
ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan
sebagainya. Semuanya itu menimbulkan dialektika pemikiran di tengah
problematika baru, sehingga pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi
persoalan-persoalan baru tersebut. Pada saat itulah Muḥammad „Abduh berhasil
mengembalikan ke rel yang sebenarnya, melalui tafsir al-Manār sebagai
wadah ide-ide pembaharuan tafsir Muḥammad „Abduh dan muridnya, Rashīd Riḍā. Masa ini bisa juga
disebut renaisance bagi penafsiran al-Qur‟an.
Untuk itulah makalah ini disajikan dengan beberapa point yang mencakup latar
belakang al-Manar dan penulisnya, sumber penafsiran, metode dan corak,
karakteristik, sistematika serta perbedaan antar Muḥammad „Abduh dan Muḥammad Rashīd Riḍā.
PEMBAHASAN
Muḥammad ‘Abduh Pelopor
Tafsir Modern
Nama
lengkapnya Muḥammad „Abduh bin Ḥasan Khoirullāh. Lahir pada tahun 1266 H/1849 M di Maḥallad Naṣr, Bukhairā, Mesir.
Sejak kecil beliau sudah diharuskan untuk terus menuntut ilmu oleh orang
tuanya. Pendidikan „Abduh diawali di Ṭanṭā dekat Kairo sekitar tahun 1862. Di sana beliau belajar ilmu
tajwid, kemudian tahun 1864 kembali ke desanya. Setahun kemudian beliau di
nikahkan pada usia 16 tahun. Setelah menikah, beliau belajar al-Qur‟an kepada pamannya yang tinggal di Syibra Khit. Kemudian pada
tahun 1866 M, beliau berangkat ke Kairo, Universitas al-Azhar. Di sana beliau
belajar Filsafat Ibn Sina dan Aristoteles di bawah bimbingan syekh Ḥasan al-Ṭaḥawī. Sedangkan ilmu
Bahasa Arab dan bahasa dibimbing oleh Muḥammad al-Basunī. Semangat menulisnya bermula dari kesenangannya
mengikuti berbagai pertemuan ilmiyah dengan Jamaluddin al-Afghanī yang
mempunyai semangat pembaruan. Di antara karya „Abduh yang diilhami oleh
semangat pembaharuannya diantaranya Risālah al-„Aridah (1837),
disusul kemudian dengan Ḥashiyah „ala Sharḥ al-Jalal al-Diwani li al-„Adudīyah (1875). Di
samping itu beliau juga menulis Tafsir al-Qur‟ān al-Aḥkām, yang nantinya dilanjutkan oleh Rashīd Riḍā, muridnya.
Abduh aktif di dalam mengeluarkan gagasan pembaruannya lewat surat
kabar al-Aḥram, Kairo. Sebagian dari artikelnya itu mengundang kontroversi.
Beliau hampir tidak diluluskan oleh universitas al-Azhar karena pemikirannya
yang berseberangan itu, namun berkat pembelaan Syekh Muḥammad al-Mahdī al-Abbāsi
yang menjabat Syekh al-Azhar, Abduh dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi di
al-Azhar pada tahun 1877 M dalam usia 28 tahun. Pada 1878 M, „Abduh mengajar
ilmu bahasa Arab di Madrasah al-Idarah wa Alsun dan sejarah di madrasah Dār
al-„Ulūm. Namun pada tahun 1879 M ia diberhentikan dan diasingkan ke tempat
kelahirannya, maḥallat Naṣr (Mesir). Hal ini bersamaan dengan pengusiran Jamaluddin
al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris yang saat itu sangat
berpengaruh.
Namun pada tahun 1880, Abduh dibebaskan dari sanksi pengasingan dan
nama baiknyapun direhabilitasi, bahkan ia mendapatkan kehormatan untuk memimpin
surat kabar resmi pemerintah, al-Waqā‟iz al-Misrīyaḥ. Pasca–Revolusi
Urabi tahun 1882 M yang berakhir dengan kegagalan, „Abduh dituduh terlibat
dalam kegiatan tersebut. Akhirnya, pemerintah Mesir mengasingkannya selama tiga tahun
ke Suriah. Setahun di Suriah ia menyusul al-Afghani ke Paris. Mereka lalu
menerbitkan surat kabar al-„Urwah al-Wusqā, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam
dan menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.
Setelah meninggalkan Paris beliau mengajar di Beirut (Libanon) dan
mengarang beberapa kitab diantaranya adalah Risālah al-Tauhīd,
Sharḥ Nahj al-Balāgah,
al-Raddu „alā al-Dahriyyīn, dan Sharḥ Maqāmat Badi‟ al-Zaman al-Hamazani. Pada tahun 1905 „Abduh
mencetuskan ide untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi dan mendapatkan
respons baik dari pemerintah maupun masyarakat. Namun universitas Kairo itu
berdiri setelah beliau meninggal dunia pada 11 Juli 1905 M. Secara ringkas,
gagasan „Abduh tentang pembaruan atau reformasi Islam dapat digambarkan sebagai
berikut2:
1.
Kerangka Teori è Akal dan wahyu (Islam)
selaras, tidak bertentangan
2.
Metodologi è Reinterpretasi ajaran Islam
(al-Qur‟an dan sunnah) secara
rasional
3.
Dipengaruhi oleh è 1. Gagasan dan pemikiran pembaruan Islam
al-Afghani 2. Kondisi umat Islam yang terpuruk akibat sikap Jumud
4.
Konsep Reformasi Islam è 1. Pembaharuan teologi Islam; membebaskan umat
Islam dari taklid 2. Restrukturisasi dan pembaruan pendidikan Islam 3. Melakukan
reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern.
5.
Konstribusi Keilmuan è 1. Rasionalisasi tafsir 2. Rasionalisasi ajaran
dan teologi islam
Muḥammad Rashīd Riḍā Berguru dan Menapaktilasi ‘Abduh
Nama lengkapnya Sayid Muḥammad Rashīd bin „Alī bin Riḍā bin Muḥammad Shamsuddīn
al-Qalamūnī. Beliau lahir pada 27 Jumadil awal 1282 H (1865 M) di Qalamūn,
sebuah desa yang tidak jauh dari Tripoli, Libya. Dan wafat pada tahun 1953 M.
Setelah menempuh pendidikan pertamanya di sekolah al-Qur‟an lokal, Rashīd Riḍā meneruskan pendidikannya ke madrasah Waṭanīyah al-Islāmiyah di
Tripoli yang didirikan oleh Syekh Ḥusain al-Jisr, seorang ulama yang mempunyai pemikiran modernitas.
Di sana Rashīd Riḍā selain mendapatkan pelajaran agama juga mendapatkan pelajaran
modern. Beliau juga belajar bahasa asing seperti Perancis, Turki dan bahasa
Arab. „Abduh mempunyai kedekatan dengan Syekh Ḥusain al-Jisr sehingga
beliau diberi kesempatan untuk menulis beberapa surat kabar Tripoli. Disamping
itu Rashīd Riḍā juga belajar kepada Syekh Maḥmūd Nashabah dan Syekh Muḥammad al-Qawiji.
Keduanya adalah pakar hadis. Kemudian Syekh „Abdul Gani al-Rāfī, syekh Muḥammad Kamil al-Rāfī,
dan al-Ustadh Muḥammad al-Ḥusainin merupakan nama guruguru beliau.
Di antara negara Arab yang pernah dikunjungi
Rashīd Riḍā diantaranya Hijaz
dan Suriah, ia pergi ke sana untuk menanggalkan politik kolonialisme Inggris
Perancis terhadap negara Arab. Rashīd Riḍā juga pernah datang di Jenewa sebagai anggota delegasi Suriah
Palestina pada Konferensi Jenewa. Gerakan pembaharuan yang digalakkan oleh Muḥammad „Abduh dan
Jamaluddin alAfghani mulai marak, saat itu Rashīd Riḍā aktif berdakwah di
Libanon. Keduanya tokoh pembaharuan sangat dikagumi oleh Rashīd Riḍā.
Al-Manār: Tafsir Monumental Abad Modern
Latar
Belakang Penulisan al-Manār
Ketika
Islam berada pada era kegelapan (abad 19), permasalahan tafsir pun keluar dari
rel yang sebenarnya yaitu terjadi disorientasi dalam penafsiran al-Qur‟an. Penafsiran al-Qur‟an yang sebenarnya
fleksibel dan dialogis telah direduksi menjadi penafsiran yang monologis yaitu
tafsir
yang berkisar sekitar pengulangan terhadap karya-karya mufassir terdahulu yang
belum tentu kondusif untuk masa sekarang artinya tafsir al-Qur‟an tidak membumi.
Muḥammad Rashīd Riḍā murid Muḥammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke
dalam majalah Al-Manār. Hal itu sebagai langkah pertama. Langkah
selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab
tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manār, kitab tafsir yang mengandung
pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan
ajaran-ajaran al-Qur‟an dengan kehidupan
masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat
universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
Kitab Tafsir al-Manār yang bernama tafsir al-Qur’ān al-Ḥakīm karya Muḥammad Abduh dan Muḥammad Rashīd Riḍā ditulis pada saat perkembangan pemikiran Islam memasuki era
modern. Di era ini umat īslam bangkit untuk melakukan reformasi, modernisasi
dan purifikasi ajaran agama Islam setelah selama tujuh abad mengalami
kemunduran. Al-Manār terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315
H atau 17 Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rashīd Riḍā untuk menerbitkan
sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama,
sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muḥammad Abduh. Awalnya berupa
mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan
hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan
Indonesia.
Tafsīr al-Manār tidak ditulis sampai rampung oleh
Rashīd Riḍā, karena ia keburu
meninggal. Penafsiran dari mulai surat al-fatīḥah sampai surat al-nisā ayat
125, (413 ayat) di ambil dari pemikiran Abduh, kemudian dilanjutkan oleh Rashīd
Riḍā sebanyak 930 ayat
mulai dari surat al-nisā‟ ayat 126 sampai
surat yūsuf ayat 111 dengan berpatokan pada metode Abduh. Kemudian
dirampungkan oleh Muḥammad Bahjah al-Bayṭār5,
surat yūsufsampai al-nās.
Sumber
Penafsiran Tafsir al-Manār
Dalam
penafsirannya, „Abduh berpatokan dalam dua landasan: riwayat ṣaḥīḥ dan
nalar/rasional. Melihat hal ini, berarti „Abduh menggunakan bi al-Ma‟tsūr dan bi al-Ra‟y. Ia memadukan keduanya.
Uraiannya terhadap ayat-ayat al-Qur‟an begitu menakjubkan dan mengesankan. Makna ayat diungkap dengan
mudah dan lugas. Ia juga mengilustrasikan segudang problematika sosial dan
menuntaskannya dengan berpedoman pada resep al-Qur‟an.
Metode dan Corak Penafsiran Tafsir al-Manār
Dalam
tafsirnya, „Abduh telah mempelopori pengembangan tafsir yang bercorak adab
al-ijtimā‟ī atau tafsir yang
berorientasi pada sastra, budaya dan kemasyarakatan. Karena beliau
ingin melakukan reformasi sosial, membebaskan Islam dari bid‟ah, mitos (wahm) dan khurafat. Dalam penafsirannya, beliau
menggunakan metode taḥlīlī (analisis). Melalui metode analisis yang
bercorak adad al-ijtimā‟ī ini pemahamannya
sering bersebrangan dengan pemahaman para mufassir salaf al-ṣāliḥ. „Abduh memahami
al-Qur‟an sebagai tuntunan yang
mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Beliau
menegaskan bahwa itulah tujuan utama al-Qur‟an.
Menurut M. Quraish Shihāb yang dikutip oleh Rif‟at Syauqi Nawawi dalam bukunya Rasionalitas Tafsir Muḥammad „Abduh Kajian Masalah Aqidah
dan Ibadah menyatakan, yang dimaksud dengan adabi al-ijtima‟i ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan
ayat-ayat alQur‟an pada segi ketelitian
redaksi al-Qur‟an, kemudian menyusun
kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan
tujuan dari tujuan diturunkannya al-Qur‟an, yakni sebagai
petunjuk dalam kehidupan, menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Rashīd Riḍā menyebutkan tiga ciri penafsiran „Abduh, yaitu; pertama, memberi
tambahan keterangan terhadap ayat yang berkonotasi kurang jelas atau
menjelaskan keterangan yang sengaja diringkas oleh penafsir-penafsir
sebelumnya. Kedua, menghindari terjebak pada penjelasan kaidah-kaidah
kebahasaan seperti nahwu, shorof dan balaghah, teteapi hanya memberi penjelasan
seperlunya saja. Ketiga, tidak tekstual dalam memahami ayat.
Karakteristik
Tafsir al-Manār
Beberapa
prinsip yang menjadi karakter Tafsir al-Manār adalah:
1. Setiap
surat merupakan kesatuan utuh dan ayat-ayat yang serasi Menurut „Abduh,
pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat itu
secara keseluruhan. „Abduh membuktikan dengan contoh surat al-Fajr ayat 1 dan“kesepuluh
malam dan Fajar Demi”. Hubungan
antara kedua ayat tersebut terletak pada kesamaannya, yaitu fajar yang terbit
dapat menggeser kegelapan malam, yang akhirnya malam dikalahkan oleh terang
yang merata. Sedangkan ayat kedua adalah malam kesepuluh yang menghilangkan
kegelapan malam dan akhirnya dikalahkan oleh malam-malam berikutnya, (malam
bulan purnama). Hubungan yang kedua adalah dari segi fungsinya yang berbeda.
Kalau fajar menggeser kegelapan malam, sehingga menjadi terang yang nyata maka
malam kesepuluh menghilangkan kegelapan malam, tetapi lambat laun terjadi lagi
kegelapan yang merata.
2. Kandungan al-Qur‟an bersifat universal Menurut „Abduh, kandungan al-Qur‟an bersifat universal dan berlaku sampai datangnya hari kiamat.
„Abduh berpegang teguh pada kaidah al-„ibrah bi „umūm
al-lafẓī la bi khuṣuṣ al-sabab (pemahaman
suatu ayat terletak pada keumuman lafal bukan paada sebabnya yang khusus).
Dengan keumuman kandungan al-Qur‟an tersebut, ia
menolak pendapat yang membatasi pengertian dan kandungan al-Qur‟an hanya pada masa tertentu. Misalnya, sifat-sifat orang munafik
yang digambarkan pada awal surat al-Baqarah, tidak hanya ditunjukkan bagi kaum
munafik pada masa Rasulullah saw., saja, tetapi berlaku buat setiap orang yang
mempunyai sifat-sifat tersebut, baik pada masa lalu, masa kini dan masa yang
akan datang.
3. Al-Qur‟an sebagai sumber utama syariat Islam Abduh menjelaskan
apa yang dimaksud dengan al-Qur‟an sebagai sumber
hukum Islam adalah supaya al-Qur‟an benar-benar
menjadi sumber pertama. Maksudnya, kepadanya disandarkan segala madzhab dan
pandangan keagamaan, bukannya madzhab-madzhab tersebut menjadi pokok dan
ayat-ayat al Qur‟an dijadikan pendukung dari
madzhabmadzhab tersebut.
4. Menentang
dan memberantas taklid Pendapat tentang perlunya membuka pintu ijtihad dan
usaha memerangi taklid didasarkan atas kepercayaan al-Qur‟an pada potensi kekuatan akal. Al-Qur‟an, tidak hanya berbicara pada hati, karena al-Qur‟an menempatkan akal pada posisi dan kedudukan yang tinggi. Ia
menolak bersikap taklid buta kepada madhhab tertentu karena telah menjadi salah
satu penyebab kemunduran umat Islam. Untuk mensejajarkan diri dengan kemajuan
yang dicapai oleh Barat, „Abduh menyerukan optimalisasi ijtihad
sehingga ia identik dengan penganut mu‟tazilah.
5. Penggunaan
akal dan metode ilmiah Abduh mengatakan bahwa akal dan wahyu merupakan
satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Salah satu contohnya, ketika
„Abduh menafsirkan surat al-Baqarah: “Dialah Allah yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkuasa menciptakan langit, lalu
dijadikanNya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.
al Baqarah: 29). Bahwa yang dimaksud dengan istawā pada ayat tersebut
adalah kekuasaan-Nya yang sempurna dan nikmat-Nya yang meliputi segala sesuatu
di atas bumi ini, memberi manfaat sebesar-besarnya buat manusia. Dan manfaat di
atas bumi ini ada dua, yaitu: manfaat untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
manfaat untuk mengembangkan akal pikiran dalam melakukan pengamatan terhadap
fenomena alam.
6. Tidak
menjelaskan masalah mubham dalam al-Qur‟an Abduh
mengatakan, jika terdapat kata-kata yang mubham dalam al-Qur‟an, kita tidak boleh menerangkan maksud kata itu. Sebaiknya
didiamkan saja sebagaimana al-Qur‟an sendiri
mendiamkannya, yakni tidak memberikan keterangan tentang hakikatnya. Terkadang
„Abduh juga tidak berusaha menjelaskan arti suatu kata dalam al-Qur‟an apabila ia menganggap pembahasan arti tersebut tidak banyak
gunanya, atau selama makna yang dikandung oleh ayat itu telah dapat dipahami
secara baik. Seperti kata alBaqarah
(sapi) di dalam surat al Baqarah:67 atau al Qaryah (kampung) yang disebut dalam
ayat 58 atau anjing yang menyertai asḥab al-Kahfi dalam surat al-Kahfi ayat 18.
7. Kritis
dalam menerima hadis-hadis nabi. Sebagai contoh, „Abduh tidak menerima hadis saḥīḥ tentang ketentuan
al-Ḥawl dan alNisab sebagai
syarat wajib zakat, hadis tentang Nabi saw., terkena sihir orang Yahudi, dan
hadis tentang penciptaan manusia dari tulang rusuk. Hadis yang dipeganginya
adalah yang mempunyai petunjuk sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an.
8. Teliti
terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak israilliyat.
9. Merelevansikan
penafsiran al-Qur‟an sesuai kebutuhan
masyarakat
Sebagai contoh penafsiran „Abduh yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan
dapat dilihat dalam surat al-Nisa‟ ayat 36:
“Sembahlah Allah dan
jangalah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang
ibu/bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombung dan membangga-banggakan
diri.” (QS. Al Nisa‟: 36)
Menurut „Abduh, jika manusia dapat menunaikan hak-hak Allah swt, maka akan baik
akidah dan amalanya. Jika ia dapat melaksanakan hak kedua orang tuanya, maka
akan baiklah keadaannya dan selanjutnya akan menciptakan kedamaian dalam rumah
tangga.
Selanjutnya
kedamaian dan kebaikan rumah tangga akan membawa kebaikan lingkungan dan
masyarakat. Kebaikan masyarakat akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi
anggotanya secara khusus dan manusia pada umumnya.
Dengan karakteristik ini, Rashīd Riḍā mempersembahkan Tafsīr
al-Manār kepada umat. Sebagaimana yang beliau persembahkan bahwa ia
adalah tafsir Al Qur‟an dalam perannya
sebagai petunjuk bagi manusia dan rahmat bagi alam semesta, memadukan
prinsip-prinsip peradaban dan hukum sosial, sesuai dengan kemaslahatan manusia
pada setiap tempat dan waktu, karena persesuain prinsip-prinsip dasarnya dengan
akal, adab-adabnya yang fitrah dan hukum-hukumnya dengan mencegah kerusakan dan
menjaga kemaslahatan. Karakteristik inilah yang menjadi ciri dari Tafsīr
al-Manār sehingga terlihat jelas perbedaan dengan tafsir-tafsir lainnya.
Sistematika
Penulisan/Penyajian Tafsīr Al-Manār
Sistematika
Tafsīr al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir al-Qur‟an yang lain. Kitab Tafsīr al-Manār menerapakan
sistematika tertib musḥafī, yaitu suatu sistem penafsiran yang berkembang secara
umum sejak periode ketiga, ketika mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan
disiplin hadis, yaitu dengn munculnya trend baru menafsirkan al-Qur‟an ayat demi ayat menurut tertib susunan musḥaf al Qur‟an.
Kitab
ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur‟an, yaitu mulai surat al-fatīḥah sampai surat al-nisā ayat
125, (413 ayat) di ambil dari pemikiran Abduh, kemudian dilanjutkan oleh Rashīd
Riḍā sebanyak 930 ayat
mulai dari surat al-nisā‟ ayat 126 sampai
surat yūsuf ayat 111 dengan berpatokan pada metode Abduh. Kemudian
dirampungkan oleh Muḥammad Bahjah alBayṭār16, surat yūsufsampai
al-nās. Dalam penafsirannya Abduh cenderung mengkombinasikan antara
riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa menjelaskan
hikmah-hikmah syari‟at sunnatullah,
serta eksistensi al-Qur‟an sebagai petunjuk
bagi manusia.
Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, yang mengungkap makna
ayat dengan mudah dan lugas, juga mengilustrasikan banyak problematika sosial
dan menuntaskannya dengan perspektif al-Qur‟an.
Perbedaan
antara ‘Abduh dan Rashīd Riḍā dalam Tafsīr al-Manār
Meskipun
melalui Tafsīr al-Manār, Rashīd Riḍā mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan gurunya, Muḥammad „Abduh, terdapat
beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut menyangkut: 1. Keluasan
pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi. 2.
Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat yang lain. 3.
Penyisipan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat
pada masanya, dengan tujuan mengantar pada penjelasan tentang petunjuk agama,
baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problema-problema
yang berkembang. Sedangkan persamaannya yaitu: 1. Memandang setiap surah
sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi 2. Ayat Al-Qur‟an bersifat umum 3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum 4.
Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an 5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw. 6. Bersikap
hati-hati terhadap pendapat sahabat
Contoh
Penafsiran
Contoh
yang dikemukakan di sini adalah penafsiran Rashīd Riḍā terhadap surat al-An‟am 32:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau.”
Rashīd
Riḍā memulai uraiannya
dengan menerangkan bahwa al-La‟ib (permainan)
adalah “Suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan
yang wajar, yakni mengakibatkan manfaat atau mencegah maḍarat”. Sedang
al-Lahwun “adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan lengahnya seseorang dari
pekerjaannya yang lebih bermanfaat dan penting”, sehingga dengan demikian
segala sesuatu yang mengakibatkan kesenangan adalah Lahwun.
Selanjutnya, dukutipnya pendapat al-Raghīb al-Asfahani serta
pengarang kitab Lisan alArab (Ibnu Manzur) kemudian disusul dengan kesimpulan
sementara bahwa al-Lahwu jika disebutkan tanpa dibarengi oleh suatu kata, maka
ia berarti segala sesuatu yang menyibukkan seseorang dari kesulitan-kesulitan
yang dihadapinya atau kesedihan-kesedihannya; kesibukan tersebut dapat berupa
permainan, nyanyian, atau apa saja yang mendatangkan kegembiraan.
Pengertian ini menurut Rashīd Riḍā selanjutnya dapat lebih luas lagi sehingga ia terkadang berarti
segala sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan walaupun bukan dengan
tujuan menyibukkan diri dari sesuatu yang lebih penting dan berguna. Untuk
pengertian
yang luas ini Rasyid Ridha mengutip sajak Umru‟ul Qais:
Kata al-Lahwu dapat pula
diartikan dengan menyibukkan diri dari suatu persoalan penting ke persoalan
lainnya walaupun untuk maksud ini biasanya digunakan kata kerja bukan
mashdar
(kata jadian) seperti firman Allah dalam surah „Abasa: 10
Setelah Rashīd Riḍā menjelaskan arti kata tersebut, dia beralih untuk menafsirkan
ayat Al-An‟am 29 yang menggunakan
kata-kata jadi, penjelasan yang cukup panjang dibarengi dengan mengutip
sajak-sajak Abu Ṭayīb al-Mutanabby dan Abu al-„Ala‟ al-Ma‟ary, kemudian
disusul dengan membandingkannya dengan ayat-ayat surah Muhammad 36, al-Ḥadid 20 dan alAnkabut
63, dengan menyatakan bahwa dalam ayat al-‟Ankabut, Tuhan mendahulukan al-Lahwu daripada al-La‟ibu sedang dalam ayat yang lain sebaliknya.
Menurut Rashīd Riḍā, sebagian besar mufassir tidak memberikan perhatian menyangkut
perbedaan redaksi tersebut karena mereka beranggapan bahwa huruf wa (dan) hanya
sekedar
“menghimpun antara apa yang disebut pertama dengan yang disebut sesudahnya”
tanpa mengandung suatu rahasia mengapa kata ini didahulukan atau dikemudiankan.
Menyangkut hal ini dikutipnya pendapat-pendapat al-Alūsī, al-Khatib al-Iskafī,
kemudian dikemukakan pandangannya. Menurut Rashīd Riḍā, mencari rahasia
didahulukannnya al-La‟ibu atau al-Lahwu
tidaklah merupakan hal yang sulit, bahkan tidak perlu dipertanyakan karena hal
tersebut merupakan urutan-urutan kronologis yang wajar bagi kehidupan manusia
seperti yang dijelaskan dalam ayat 20 surah al-Ḥadīd:
“bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak.”
Ayat ini bermula dengan al-La‟ibu karena hal itulah gambaran dari karena hal itulah gambaran dari
permulaan perkembangan dan pertumbuhan manusia sebagai bayi, yang merasakan
lezatnya permainan walaupun ia sendiri melakukannya tanpa tujuan apa-apa
kecuali bermain. Setelah itu disebutkan al-Lahwu karena hal itu tidak dapat
dilakukan kecuali oleh orang yang telah memiliki sedikit pikiran, bukan oleh
seorang bayi. Kemudian disusul dengan alZinatu (perhiasan) karena yang demikian
itulah sifat remaja, setelah itu Tafakhoru (berbanggabangga) karena itulah
sifat pemuda dan diakhiri dengan Takatsuru di al-amwal wa al-awlad
(memperbanyak harta/anak) karena itulah sifat orang dewasa.
PENUTUP
Simpulan
Dari
uraian di atas, maka dapat kami simpulkan melalui tabel berikut:
Penutup Alhamd li Allah
Rabb al-„Ālamīn, Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan
rahmat kepada kami atas kekuatan serta kemudahan dalam menyelesaikan makalah
ini. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik
dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh,
Muhammad. Tafsir Juz „Amma. Kairo: Dar al Hilal.1968
Al
Dzahabi, Husain. Tafsir wal Mufassirun. Juz 3. Kairo: Dar al-Maktabah. 1976
Ali
Iyazi, Sayyid Muhammad. Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum Amin Ghofur,
Saiful. Profil Para Mufasir al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008
Anwar,
Rosihon. Pengantar Ulum al Qur‟an. Bandung: CV. Pustaka
Setia. 2009
Asy-Syirbashi,
Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Qur‟an. Jakarta: Pustaka Firdous. 1985 Hidayatullah, Khalid.
Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir al Manar. Jakarta: el Kahfi.
2012
Mahmud
Shahatah, Abdullah. Manhaj al Imam Muhammad Abduh fi tafsir al Qur‟an. Kairo: Maktabah Wahbah. 1963
Nawawi, Rif‟at Syauqi. Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina.
2002 Riḍā, M Rashīd. Tafsir
al Manar. Jilid I
0 Comments