Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Islam


Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Islam

Dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid diterangkan bahwa salah satu faktor yang menjadi pelarangan adanya akad pernikahan adalah kafir (Q.S. Al- Mumtahanah:10).[1]  Mereka sepakat pada hal tersebut akan tetapi terjadi ikhtilaf pada masalah pernikahan dengan ahli kitab, dimana para ulama sepakat akan kebolehan menikah dengan ahli kitab akan tetapi Ibnu Umar melarang hal tersebut.
Dalam hadis, penulis hanya mendapatkan satu hadis tentang pernikahan beda agama yaitu:


حدثنا قتيبة حدثنا ليث عن نافع : أن ابن عمر كان إذا سئل عن نكاح النصرانية واليهودية قال إن الله حرم المشركات على المؤمنين ولا أعلم من الإشراك شيئا أكبر من أن تقول المرأة ربها عيسى وهو عبد من عباد الله [2]

"Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Laits dari Nafi' bahwa apabila Ibnu Umar ditanya tentang hukum menikahi wanita Nashrani dan wanita Yahudi ia menjawab, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik atas orang-orang yang beriman. Dan aku tidak mengetahui adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari hamba-hamba Allah."

Hadis di atas merupakan penafsiran Abdullah bin Umar akan Q.S. Al-Baqarah:122, ia mengharamkan pernikahan beda agama. Berbeda dengan Ibnu Umar dan para ulama yang mengharamkannya, seperti yang ditulis Abdul Muqsith Ghazali di dalam artikelnya bahwa ada ada dua golongan lagi yang menghalalkan nikah beda agamgolongan a. Salah satu dari kedua ulama tersebut ada yang berargumen bahwa keharaman nikah beda agama itu dibatalkan dengan Q.S. Al-Maidah : 5.  Salah satunya mengatakan bahwa nikah beda agama itu mutlak boleh tanpa adanya perincian seperti golongan ulama yang membolehkan nikah beda agama yang pertama tersebut.[3]

Penulis sepakat dengan Kang Miftah yaitu seorang penulis di Kompasiana yang tetap mengahramkan pernikahan beda agama. Walaupun Abdul Muqsith Ghazali memaparkan dalam artikelnya data-data tentang kesuksesan dan keberhasilan keluarga nikah beda agama baik dari segi keluarga ataupun agama, akan tetapi seperti dikatakan Farida Prihatini seorang pengajar hukum Islam UI yang dikutip Kang Miftah dalam artikelnya “Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. U

matnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Farida jg menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,Kantor Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia.  “Secara hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan”.[4]

Selain  itu  pengharaman  nikah  antar  umat  beragama  merupakan  ijma’  dari  ulama Indonesia yang diwakili oleh MUI, PP. Muhammadiyyah, serta NU. Pengharaman tersebut juga didukung oleh  UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[5]



[1] Ibnu   Rusyd,   Bidayat   al-Mujtahid   wa   Nihayat   al-Muqtashid   (Mesir:Maktabah   al-Syuruq   al- Dawliyah.2010) 413.
[2]Al-Imam Abi Abdillah  Muhammad bin  Isma’il al-Bukhari al-Ju’fi,  Shahih al-Bukhari, ed.Mahmud Muhammad Nassar (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.2009) 993.
[3]Hukum Nikah Beda Agama Oleh Abdul Moqsith Ghazali dalam  http://islamlib.com/id/artikel/hukum- nikah-beda-agama di unduh pada hari Rabu, 13 Maret 2013. 03:24.
[4] Menyoal Pernikahan Beda Agama oleh Kang Miftah dalam  http:/ /sosbud .kompa siana .com/ 2012 /11/29/ menyoal-pernikahan-beda-agama-506986.html diunduh pada di unduh pada hari Rabu, 13 Maret 2013. 03:24.
[5] Ibid

Post a Comment

0 Comments