Muhammad ‘Abduh (1849 M – 1905 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn
‘Abduh ibn Hasan Khairullah. Dilahirkan pada 1849 M atau 1266 H di Mahallat
Nasr, dekat sungai Nil, Mesir. Ayahnya bernama ‘Abduh ibn Hasan Khairullah yang
mempunyai silsilah dari bangsa Turki. Ibunya bernama Junainah. Ibunya berdarah
Arab yang silsilahnya sampai kepada ‘Umar ibn Khattab. Beliau meninggal dunia pada 11 Juli 1905
M.
Pendidikan Muhammad ‘Abduh
Sejak kecil Muhammad ‘Abduh sudah disuruh belajar menulis
dan membaca. Setelah mahir menulis dan membaca, ayahnya menyerahkan Muhammad
‘Abduh kepada seorang guru tahfidz untuk menghafal al-Qur’an. Pada usia
12 tahun, Muhammad ‘Abduh telah hafal al-Qur’an.
Pada usia 13 tahun, Muhammad ‘Abduh dikirim ayahnya untuk
melanjutkan pendidikan sekolah agama di Thanta yaitu Masjid Syaikh Ahmadi,
sekitar 80 km dari Mesir. Hampir 2 tahun belajar bahasa Arab, Nahwu, Sharaf,
Fiqh, dan yang lainnya, namun dia merasa tidak mengerti apa-apa.
Karena merasa tidak puas dengan metode belajar di sana,
Muhammad ‘Abduh akhirnya meninggalkan Thanta. Dia pergi bersembunyi ke rumah
salah seorang pamannya di desa Syibral Khit. Setelah 3 bulan bersembunyi, dia
pun ketahuan dan dipaksa kembali ke Thanta. Akan tetapi dia tidak mau dan ingin
pulang.
Setelah kembali ke kampungnya, Muhammad ‘Abduh menikah
pada tahaun 1865 M di usia 16 tahun. Setelah menikah Muhammad ‘Abduh dipaksa
untuk kembali belajar di Thanta, akan tetapi dia pergi ke rumah pamannya lagi
di Syibral Khit. Pamannya bernama Syaikh
Darwisy Khadr.
Pamannya mengetahui keengganan Muhammad ‘Abduh yang malas
belajar, maka pamannya membujuk untuk membaca buku bersama-sama. Ketika buku
diberikan kepadanya, Muhammad ‘Abduh melempar bukunya. Lalu diambil lagi oleh pamannya
sampai akhirnya dia mau untuk membacanya. Setiap habis satu kalimat, pamannya
menjelaskan tentang arti dan maksudnya.
Setelah tinggal di rumah pamannya, Muhammad ‘Abduh pun
kembali ke Thanta. Minat belajarnya semakin meningkat. Pada saat ini Muhammad
‘Abduh dipengaruhi oleh cara faham sufi yang ditanamkan pamannya, Syaikh
Darwisy Khadr.
Setelah selesai belajar di Thanta, Muhammad ‘Abduh
melanjutkan pendidikannya ke al-Azhar, Kairo pada tahun 1866 M. Selama belajar di al-Azhar
Muhammad Abduh sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya,
antara lain:
1.
Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajar
kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain
sebagainya. Padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di Al-Azhar pada waktu
itu.
2.
Muhammad Al-Basyuni, seorang yang
banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui
pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan
mempraktikannya.
Pada tahun 1871 M, Jamaluddin AlAfghani datang ke Mesir
dalam perjalanan ke Istambul. Pada usia ke 23 tahun Muhammad Abduh untuk
pertama kalinya berjumpa dengan Al-Afghani. 43 Ketika tahu bahwa Al-Afghani
datang ke Mesir, Muhammad Abduh dan teman-teman Mahasiswanya pergi berjumpa ke
tempat penginapan Al-Afghani di dekat al-Azhar. Dalam pertemuan itu al-Afghani
memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat
Alquran. Kemudian ia menjelaskan tafsirannya sendiri. Selain itu al-Afghani
juga mengadakan kajian ilmiah, belajar tasawuf, ilmu sosial, politik, filsafat
dan lain-lain.
Al-Afghani mengalihkan kecendrungan Muhammad ‘Abduh dari
tasawuf sempit yaitu dalam bentuk tata cara berpakaian dan zikir. Al-Afghani juga memperkenalkan Muhammad Abduh kepada banyak karya-karya
penulis Barat yang sudah dierjemahkan ke dalam bahasa Arab. Serta mendiskusikan
masalah-masalah politik dan sosial yang tengah dihadapi baik oleh rakyat Mesir
sendiri maupun umat Islam pada umumnya. Sehingga Muhammad Abduh membuang habis
sisa-sisa tasawuf yang bersifat pantang dunia itu, lalu memasuki dunia
aktivisme sosiopolitik.
Setelah lulus dari Al-Azhar, ia juga mengajar dirumahnya,
di sana ia mengajar kitab Tahdzib Al-Akhlaq karangan Ibnu Miskawaih,
mengajarkan sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa karangan Guizot yang
diterjemahkan oleh Al-Tahtawi ke dalam bahasan Arab di tahun 1877 M dan
mukaddimah Ibn Khaldun. Pada tahun 1878 M atas usaha Perdana Mentri Mesir Riadl
Pasya, ia diangkat menjadi dosen
pada Universitas
“Darul Ulum”, di samping itu ia juga menjadi dosen di Al-Azhar,48 untuk
pertama kalinya ia mengajar di Al-Azhar dengan mengajar manthiq (logika) dan
ilmu Al-kalam (teologi).49 Serta mengajar ilmu-ilmu bahasa Arab
di Madrasah Al-Idarah wal-Alsun (sekolah administrasi dan bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879 M pemerintah Mesir berganti dengan yang
lebih kolot dan reaksioner yaitu turunnya Khedive Ismail dari singgasana,
digantikan oleh putranya Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini segera
memecat Muhammad Abduh dari jabatannya.
Tahun 1884 M Muhammad Abduh mendapatkan surat dari
Jamaluddin Al-Afghani. Surat itu berisikan utusan dari al-Afghani untuk
mengajak Muhammad Abduh datang ke Paris, karena pada saat itu al-Afghani sedang
berada di Paris. Bersama Al-Afghani, Muhammad Abduh mendirikan organisasi dan menerbitkan
surat kabar yang memiliki nama yang sama yaitu Al-‘urwat Al-wutsqa’.
Al-‘urwat Al-wutsqa’ memiliki arti “Mata Rantai Terkuat”.
Organisasi Al-‘urwat Al-wutqa’ bertujuan
untuk menyatukan umat Islam dan sekaligus melepaskan umat Islam dari sebab-sebab
perpecahan mereka, dan menentang penjajah Barat khususnya Inggris. Sedangkan
surat kabar yang mereka
terbitkan bertujuan untuk mengumumkan dan memberikan peringatan kepada
masyarakat non-Barat (umat Islam) tentang bahaya intervensi Barat dan tujuan
khususnya yaitu membebaskan Mesir dari pendudukan Inggris, dan yang menjadi
fokusnya adalah umat Islam.
Muhammad Abduh memiliki tujuan sendiri dalam penerbitan
organisasi dan surat kabar al-‘urwat al-wutsqa’:
a.
Menyerukan suara keinsyafan ke seluruh dunia
Islam, supaya umat Islam bangkit dari tidurnya.
b.
Mengidentifikasikan cara menuntaskan berbagai
problem masa lalu yang telah menyebabkan terjadinya kemunduran.
c.
Menyuntikan kepada umat Islam harapan untuk
menang dan menyingkirkan keputusasaan.
d.
Menyerukan kesetiaan kepada prinsip-prinsip
para leluhur.
e.
Menghadapi dan menolak tuduhan yang
mengatakan bahwa umat Islam tidak dapat maju selama meraka memegang teguh
prinsip- prinsip Islam.
f.
Memberikan informasi mengenai berbagai
peristiwa politik yang penting.
g.
Meningkatkan hubungan antar bangsa dan
meningkatkan kesejahteraan umat Islam
Karya-Karya Muhammad ‘Abduh
Adapaun beberapa karya-karya dari Muhammad Abduh seperti:
1.
Risalah Al-‘Aridat tahun 1873 M
2.
Hasyiah-Syarah Al-Jalal Ad-Dawwani
lil-Aqa’id Al-Adhudhiyah tahun 1875 M. Karya ini ditulis Muhammad Abduh ketika berumur 26 tahun. Isinya tentang
aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf. Serta berisikan
kritikan pendapat-pendapat yang salah.
3.
Risalah Al-Tauhid, karya ini berisikan tentang bidang teologi.
4.
Syarah Nahjul-Balaghah, karya ini berisikan komentar menyangkut kumpulan
pidato dan upacara Imam Ali bin Abi Thalib.
5.
Menerjemahkan kitab karangan Jamaluddin Al-Afghani yaitu Ar-Raddu ‘Ala
Al-Dahriyyin dari bahasa Persia. Karya ini berisikan bantahan terhadap orang
yang tidak memercayai wujud Tuhan.
6.
Syarah Maqamat Badi’Al-Zaman Al-Hamazani, karya ini berisikan tentang
bahasa dan sastra arab.
7.
TafsirAl-Manar, karya ini berorientasi pada sastra-budaya dan
kemasyarakatan.
Pemikiran Pembaharuan Muhammad ‘Abduh
1.
Pembahaharuan Bidang Keagamaan
Katanya
untuk melakukan pembaharuan, kita harus kembali kepada ajaran-ajaran Islam
sebenarnya. Paham jumud serta prilaku-prilaku bid’ah dianggap sebagai
faktor penyebab kemunduran umat Islam. Sama halnya dengan Muhammad ibn Abdul
Wahhab, Muhammad ‘Abduh juga menginginkan Islam yang murni sesuai zaman
Rasulullah saw dan para sahabat.
Namun tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran Islami yang murni. Hal
ini dikarenakan zaman yang berkembang, maka diperlukan penyesuaian. Dengan
melihat paham Ibn Taimiyah yang menyatakan bahwa ajaran Islam terbagi kepada
ibadah dan mu’amalat (kemasyarakatan), maka Muhammad ‘Abduh menonjolkan
paham ini.
Muhammad ‘Abduh melihat bahwa ajaran dalam al-Qur’an dan Hadis mengenai
ibadah telah jelas, akan tetapi ajaran mengenai mu’amalat masih bersifat
mujmal, belum terperinci. Karena prinsip-prinsip itu masih bersifat
umum, Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa semua itu dapat disesuaikan dengan
zaman.
Untuk menyesuaikan prinsip itu, maka diperlukan reinterpretasi melalui
ijtihad. Ijtihad adalah usaha keras yang maksimal untuk
melahirkan hukum-hukum dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian
yang serius.
Ijtihad menurut Muhammad ‘Abduh bukan hanya boleh, tetapi penting dan bahkan
diperlukan. Akan tetapi yang boleh melakukan ijtihad adalah orang-orang
yang memenuhi syarat, di antaranya:
a.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang
ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum,
dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk mengenali hukum.
b.
Menguasai ilmu logika, agar dapat
menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum dan sanggup mempertanggung
jawabkannya.
c.
Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab
al-Quran dan sunnah, sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa
Arab yang tinggi, dan di dalam ketinggian secara mendalam.
d.
Mengetahui latar belakang turunnya ayat dan
latar belakang suatu hadis, agar mampu mengenali hukum secara tepat.
e.
Mengetahui sejarah para perawi hadis, supaya
dapat menilai suatu hadis apakah dapat diterima atau tidak. Sebab penentuan
derajat atau nilai suatu hadis bergantung sekali pada ihwal perawi.
Muhammad ‘Abduh juga berusaha membebaskan umat Islam dari paham Jabariyah.
Paham yang menghilangkan daya upaya manusia dan hanya bergantung pada takdir. Hal ini membuat umat Islam bersikap fatalism
(kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya).
Muhammad ‘Abduh percaya kepada kekuatan akal. Dia berpaham bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan positif. Dia menyatakan bahwa
manusia mewujudkan perbuatan dengan kemauan dan usaha sendiri tanpa menafikan
kekuasaan Allah swt. Analisis Barat menyatakan bahwa kemunduruan umat Islam
dikarenakan paham Jabariyah, dan Muhammad ‘Abduh menyetujuinya.
Dengan demikian Muhammad ‘Abduh menyeru agar kembali kepada sumber sejati
umat Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an adalah kitab suci yang akan
terus sesuai dengan zaman dan keadaan. [Part 2]
0 Comments