Hadis Tentang Larangan Berbicara Saat Khutbah Jum'at. Dan untuk takhrij hadisnya bisa dilihat di sini.
و إذا قال لصاحبه: أنصت فقد لغوْتَ.
و قال سلمان عن النبي صلي الله عليه و سلم: بنصت إذا
تكلم الإمام
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ
أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ
لَغَوْتَ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan
kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah menceritakan
kepadaku Sa'id bin Al Musayyab bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu berkata
kepada temanmu pada hari Jum'at 'diamlah', padahal Imam sedang memberikan
khutbah maka sungguh kamu sudah berbuat sia-sia (tidak mendapat pahala)."
Keterangan Hadis
Mendengarkan khutbah jum’at merupakan salah satu kewajiban jum’at.
Imam Bukhari menolak pendapat yang mewajibkan mendengarkan khutbah itu
dilakukan sejak khatib keluar, karena sabda Rasulullah SAW dalam hadis “dan
Imam berkhutbah” adalah jumlah haliyah (susunan kalimat yang
menunjukkan keadaan) sehingga tidak mencakup waktu sejak imam keluar dan
sesudahnya, sampai imam memulia khutbahnya. Memang benar sebenarnya seseorang
seseorang lebih baik diam seperti yang telah dianjurkan.
Adapun pada saat duduk di antara dua khutbah, penulis kitab Al-Mughni
menyebutkan dua pendapat dari para ulama dalam masalah ini, yaitu
berdasarkan bahwa pada saat itu imam tidak sedang berkhutbah atau karena waktu
diamnya terlalu singkat seperti menarik nafas.
و إذا قال لصاحبك أنصت فقد لغا (Apabila dia berkata kepada temannya “Diamlah!” maka sesungguhnya
ia telah melakukan perbuatan sia-sia) Ini seperti riwayat Nasa’I dari Qutaibah dari
Al-Laits yang menyebutkan dengan lafadz, فقد لغا من قا ل لصاحبه أنصت (Barangsiapa mengatakan kepada temannya,
“Diamlah!”, mka dia telah melakukan perbuatan sia-sia). Maksud dari kata shahib di atas
adalah orang yang diajak bicara.
Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan Inshat adalah dia tidak emngucapkan kata-kata kepada orang
lain selain zikir kepada Allah. Pendapat Ibnu Khuzaimah ini menuai kritikan,
karena apabila yang demikian yang dimaksudkan maka membaca Al-Qur’an dan zikir
ketika khutbah juga diperbolehkan. Secara lahiriah yang dimaksud adalah diam
secara mutlak, dan orang yang membedakan antara keduanya harus menguatkan
dengan dalil-dalil yang menunjukkannya.
يوم الجمة (Pada hari jum’at). Pengertiannya bahwa selain hari Jum’at
(khutbah Jum’at), maka hukuk tersebut tidak berlaku. Namun hal ini masih perlu
dikaji lebih mendalam.
فقد لغوت (maka sengkau telah melakukan perbuatan
sia-sia) Al-Ahkfasy
mengatakan, Al-Laghwu adalah ucapan atau perkataan yang tidak mempunyai
dasar, yaitu perkataan yang batil dan sejenisnya. Menurut Ibnu Arafah, Al-Laghwu
adalah perkataan yang hina atau tidak berguna. Sedangkan pendapat lain
menyatakan perkataan yang keluar dari kebenaran. Bahkan ada yang mengartikannya
dosa, seperti firman Allah swt:
Artinya:
“dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S.
Al-Furqan: 72)
Menurut Ibnu Al-Manayyar, ahli
tafsir sepakat bahwa Al-Laghwu adalah perkataan yang tidak baik. Adapun
perkataan Abu Abid Al-Harawi dalam kitab Al-Garib sangat aneh, karena
dia mengatakan bahwa kata Al-Laghwu memiliki arti berbicara. Nadhruddin
Syumail mengatakan bahwa kata Laghauta berarti kamu tidak mendapat
ganjaran .
Ahmad meriwayatkan dari hadis Ali RA
dengan sanad yang marfu’, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: من قال: صه فقد تكلم,
و من تكلم فلا جمعة له
(Barangsiapa
mengatakan “Diamlah”, maka ia telah berbicara, dan barangsiapa berbicara, maka
dia tidak emndapatkan [pahala atau keutamaan] Jum’at).
Begitu juga apa yang telah
diriwayatkan oleh Abu Daud. Adapun riwayat Ahmad dan Al-Bazar dari Ibnu Abbas,
dengan sanad yang marfu’, bahwasanya Rasulullah bersabda: من تكلم يوم الجمة
والإمام يخطب فهو كالحمار يحمل أسفارا, والذي أنصت ليست له جمة (Barangsiapa yang berbicara pada
hari Jum’at sedangkan imam berkhutbah, maka ia seperti himar (keledai) yang
memikul kitab-kitab. Sedangkan orang yang menenangkan dengan mengatakan,
“Diamlah!”, maka ia mendapatkan pahala Jum’at). Hadis ini diperkuat oleh hadis mauquf
dalam kita Jaami’ Hammad bin Salamah, dari Ibnu Umar.
Menurut para ulama maknanya adalah
ua tidak mendapatkan pahala shalat Jum’at secara keseluruhan. Ibnu At-Tin
meriwayatkan dari sebagian ulama yang membolehkan berbicara kerika khutbah,
yaitu dengan menta’wilkan sabda Rasulullah SAW, di mana arti kalimat فقد لغوت menurut mereka adalah kamu telah menyuruh
diam orang yang tidak mau (diam). Ini adalah takwil yang sangat sulit untuk
dibenarkan.
Kata-kata “Diamlah” meskipun
memiliki konotasi makna yang baik tetatpi tetaplah dianggap sebagai sesuatu
yang sia-sia, maka kata-kata selainnya lebih patut dikatakan sebagai perbuatan
yang sia-sia. Dalam riwayat Ahmad dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah RA di akhir
hadis bab, bahwa setelah kalimat فقد لغوت disambung dengan kalimat عليك بنفسك (peliharalah dirimu).
Hadis tersebut menjadi dalil dilarangnya
semua bentuk pembicaraan ketika khutbah berlangsung. Jumhur ulama juga
berpendapat demikian bagi orang yang mendengarkan khutbah. Begitu pula hokum
orang yang tidak mendengarkannya. Mereka mengatakan, ”Jika hendak berbuat
kebaikan, maka hendaknya dengan isyarat.”
Menurut Ibnu Abdul Barr menukil ijma’ ulama
bahwa kewajiban diam hanya bagi mereka yang mendengar, kecuali hanya sedikit
dari tabi’in yang menyetujuinya. Adapun lafadznya adalah sebagai berikut:
“Tidak ada perbedaan antara ulama-ulama fiqih di seluruh negeri tentang
kewajiban diam bagi orang yang mendengar khutbah Jum’at. Berdasarkan hadis
tersebut, apabila kita mendapatkan orang yang tidak tahu tentang hukum ini,
lalu ia berbicara ketika imam khutbah, maka kita tidak boleh mengatakan kepadanya
“Diamlah!” atau kata-kata yang serupa dengannya.”
Dalam masalah ini Imam Syafi’I mempunyai
dua pendapat yang masyhur. Menurut sebagian pengikut Syafi’I, bahwa
letak perbedaan pendapat tersebut adalah apakah dua khutbah tersebut sebagai
ganti dari dua raka’at shalah Zhuhur atau bukan. Berdasar pendapat yang
pertama, khutbah merupakan pengganti dua raka’at shalat Zhuhur, maka berbicara
disaat khatib sedang berkhutbah adalah haram.
Sedangkan berdasar pendapat yang kedua maka
tidaklah haram, dan inilah yang benar menurut mereka. Maka tidaklah mengapa
jika ada yang berbicara saat khatib di atas mimbar.
Dari Ahmad, ada dua riwayat yang keduanya
juga membedakan antara orang yang mendengar khutbah dengan orang yang tidak
mendengar khutbah. Sebagian pengikut Syafi’I membedakan antara orang yang
berkewajiban menghadiri Jum’at dan mereka yang tidak berkewajiban. Bagi mereka
yang berkewajiban shalat Ju’at, maka harus diam. Sedang bagi yang tidak
berkewajiban hal itu disamakan dengan fardhu kifayah.
Keharusan diam ketika khutbah berlangsung
bagi yang mendengarnya, telah diisyaratkan oleh hadis yang telah disebutkan, و من دنا فلم ينصت كان عليه كقلان من الوزر (Barangsiapa ayng dekat [mendengar suara
khatib] dan tidak diam, maka ia mendapat dua dosa) karena dosa bukan diakibatkan melakukan hal
yang mubah atau sesuatu yang
makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan).
Pengecualian diam ketika khutbah apabila
khatib sudah keluar dari jalur yang disyariatkan di dalamnya, misalnya
mendo’akan penguasa. Bahkan pengarang kitab At-Tahdzib menegaskan, bahwa
berdo’a untuk penguasa adalah makruh.
0 Comments