JUAL BELI
M. Rezza Hidayat dan Alfionitazkiyah
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah
Jakarta
Transaksi dalam jual
beli seharusnya menjadi hal yang bernilai positif, karena dilihat dari
prosesnya yaitu adanya suka sama suka dalam bertransaksi, akan tetapi pada
kenyataanya masih banyak para penjual yang berlaku curang dan merugikan
pembeli, sebab penjual hanya memikirkan keuntungan dari transaksi jual beli
tersebut dengan menjual sedikit barang dagangannya.
Di dalam kehidupan
masyarakat memang sangat sering terjadi transaksi jual beli, akan tetapi mereka
tidak mengerti proses transaksi yang semestinya terjadi dengan melihat proses
adanya suka sama suka antara penjual dan pembeli. Tidak sedikit pembeli merasa
dirugikan oleh penjual setelah transaksi jual beli telah usai, karena tidak
adanya ketelitian dari pembeli dalam memilih barang yang akan dibeli dan
penjual pun sengaja menyelipkan barang yang tidak layak jual pada dagangannya.
Namun tidak sedikit pula masyarakat yang merasa puas sebab ketelitian pembeli
dalam mamilih barang tersebut.
Pada makalah ini kami
akan memaparkan sekelumit pembahasan tentang transaksi jual beli dari
perspektif hadits, sehingga diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan yang
baru tentang transaksi jual-beli ini.
A. JUAL BELI
Definisi Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u البيع
(jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu. Adapun secara terminologi,
jual-beli adalah transaksi tukar-menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan,
dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Di dalam Fiqhul-sunnah,
disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang
dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang
lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.[1]
Adapun hikmah
disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang
terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk
memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang
sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya.[2]
Di dalam transaksi
jual-beli ada pula syarat-syarat yang harus diperhatikan, diantaranya[3]
:
·
Adanya orang
yang berakad (penjual dan pembeli)
·
Adanya tempat
bertransaksi jual-beli
·
Adany
keridhoan
Ada pula persyaratan lain yang terdapat dalam jual-beli yaitu :
a) persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual-beli,
baik penjual maupun pembeli, yaitu:
·
Hendaknya kedua
belah pihak melakukan jual-beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan.[4] Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ
“… janganlah kalian salingmemakanhartasesamamudenganjalan
yang batil, kecualidenganjalanperniagaan yang timbuldarikerelaan di antara
kalian…”[5]
·
Kedua belah
pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah
seorang mukallaf dan rasyid (memiliki
kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan
oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa.[6] Hal ini
merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak
milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak
cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan
transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan
dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya.
b) Jual-beli yang berkaitan dengan objek/barang yang
diperjual belikan, syarat-syaratnya yaitu:
·
Objek jual-beli
(baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat,
bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya
haram terlarang untuk diperjual belikan.
·
Objek jual-beli
merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila
mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu
‘alaihiwasallam bersabda,
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ
أَبِي بِشْرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَيَا
رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي
أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ فَقَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Hakim bin Hizam bertanya : ‘wahai Rasuullah telah datang
kepada ku seorang laki-laki yang bermaksud pada ku untuk menjual (sesuatu) yang
bukan milikku, apakah aku harus menjualnya padanya? Nabi bersabda : ‘Janganlahengkaumenjualbarang
yang bukanmilikmu.” [7]
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap
barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida
terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolak ukur dalam perkara
muamalah adalah rida pemilik.[8]
·
Objek jual-beli
dapat diserah terimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di
udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi
yang mengandung objek jual-beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi)
dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
·
Objek jual-beli
dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga
terhindar dari gharar. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah dalam kitab Muslim.
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو أُسَامَةَ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبُو
الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ
الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan
kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual
beli gharar.”[9]
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib
suatu barang ketika melakukan jual-beli. Rasulullah shallallahu
‘alaihiwasallam bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ
جَرِيرٍ حَدَّثَنَا أَبِي سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ أَيُّوبَ يُحَدِّثُ عَنْ يَزِيدَ
بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شُمَاسَةَ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ
عَامِرٍ قَالَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا
فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.
Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada
saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya”[10].
Beliau shallallahu ‘alaihiwasallam jugabersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ
وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيُّ ح و حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ
مُحَمَّدُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَازِمٍ كِلَاهُمَا عَنْ سُهَيْلِ
بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ
فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang membawa pedang maka ia bukan dari
golongan kami dan barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan
dari golongan kami.”[11]
C. BARANG YANG TIDAK BOLEH DIPERJUALBELIKAN
1. Anggur yang dijadikan khamar
Pada dasarnya jual-beli buah anggur adalah boleh, akan
tetapi anggur menjadi haram untuk diperjual belikan ketika si penjual atau si
pembeli berniat untuk menjadikannya khamar. Sebagaimana nabi telah bersabda tentang
larangan menjual belikan anggur yang dijadikan khamar.
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا أبو علي الحسين بن علي
الحافظ ثنا أبو بكر محمد بن إسحاق بن خزيمة ثنا أحمد بن منصور المروزي بنيسابور
ثنا عبد الكريم بن أبي عبد الكريم السكري ثنا الحسين بن مسلم عن الحسين بن واقد عن
أبي بردة عن أبيه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :من حبس العنب أيام قطافه حتى يبيعه من يهودي أو نصراني
ليتخذ خمرا فقد تقحم النار عيانا[12]
“Rasulullah Saw. bersabda : Barangsiapa yang
menampung buah anggur pada hari-hari panen memetiknya (panen buah anggur)
hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi atau Nashrani untuk ia jadikan arak
maka sungguh ia diseburkan kedalam api neraka dengan terbelalak (matanya).”
Dari hadits diatas dapat diahami bahwa orang
yang menjual anggur untuk dijadikan arak tidak diperbolehkan bahkan bagi yang
melakukannya akan diceburkan kedalam api neraka. Namun tidak hanya si penjual
yang mendpatkan hukuman tersebut, begitu juga pembelinya, yang meminum, yang
menuangnya, yang memerahnya, dan yang membawanya (kurir).Sebagaimana Nabi
bersabda.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد ثنا فليح عن سعد
بن عبد الرحمن بن وائل الأنصاري عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن النبي
صلى الله عليه و سلم قال : لعن الله الخمر ولعن شاربها وساقيها وعاصرها ومعتصرها
وبائعها ومبتاعها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنهاتعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح
بطرقه وشواهده[13]
“Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, yang mengoplos, yang minta
dioploskan, penjualnya, pembelinya, pengangkutnya, yang minta diangkut, serta
orang yang memakan keuntungannya."
2. Pedang yang digunakan untuk kejahatan
Transaksi jual-beli benda tajam seperti golok, pisau,
pedang, dan lain-lain, semuanya diperbolehkan dengan syarat digunakan untuk
hal-hal yang bermanfaat. Seperti membeli golok untuk menebang pohon, pisau
untuk memotong daging, dan bukan untuk kejahatan. Jika akad jual-beli tersebut
terjadi maka batallah transaksi jual-beli tersebut.
Allah telah berfirman dalam Q.S. al-Maidah [05] : 2
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#q=ÏtéB uȵ¯»yèx© «!$# wur tök¤¶9$# tP#tptø:$# wur yôolù;$# wur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |Møt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6t WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù 4 wur öNä3¨ZtBÌøgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
2. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah [389], dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram [390], jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya [391], dan binatang-binatang qalaa-id [392], dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keredhaan dari Tuhannya [393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.[14]
3. Air
Dalam hal ini air yang tidak boleh diperjual belikan
adalah bentuk air yang masih umum seperti : air sungai, air laut, air mata, air
hujan, dan lain-lain. Semua macam-macam air tersebut tidak boleh dijadikan
ladang untuk jual-beli, karena semua itu adalah milik semua manusia dan bukan
milik perorangan. Nabi Saw. telah bersabda.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ خِرَاشِ بْنِ حَوْشَبٍ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ الْعَوَّامِ بْنِ
حَوْشَبٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ
وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِي[15]
“Rasulullah Saw. bersabda : orang-orang muslim
bersekutu dalam tiga hal yaitu : Air, Rumput, dan Api, dan menjualnya haram.”
4. Buah-Buahan yang belum tampak kematangannya
حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا مُعَلَّى
بْنُ مَنْصُورٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا حُمَيْدٌ حَدَّثَنَا
أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى يَبْدُوَ
صَلَاحُهَا وَعَنْ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ قِيلَ وَمَا يَزْهُو قَالَ يَحْمَارُّ
أَوْ يَصْفَارُّ[16]
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa
Beliau melarang menjual buah-buahan hingga jelas kebaikan dan (melarang pula
menjual) kurma hinga sempurna. Ada yang bertanya; "Apa tanda
sempurnanya?" Beliau menjawab: "Ia menjadi merah atau kuning".
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa
janganlah seorang penjual menjual buah-buahan yang belum matang yaitu jika buah
tersebut belum berubah warna menjadi merah atau kuning.
Hadits diatas juga hampir sama dengan hadits
yang diriwayatkan oleh para muhadditsin yang lainnya, sebagai berikut.[17]
Kitab Hadits |
Kitab |
Urutan Bab, Hadits, Halaman |
Shahih al-Bukhari |
Zakat |
58 |
Buyu’ |
82, 83, 85-87 |
|
Masaqah |
17 |
|
Shahih al-Muslim |
Buyu’ |
49, 51, 52, 54, 56-59, 79 |
Sunan Abu Daud |
Buyu’ |
22, 56 |
Sunan al-Nasai’ |
Buyu’ |
28, 35 |
Aiman |
45 |
|
Sunan Ibn Majah |
Tijarat |
32, 61 |
Sunan al-Darimi |
Buyu’ |
21 |
Muwaththa’ Malik |
Buyu’ |
10 |
Musnad Ahmad bin Hanbal |
Jilid 2 |
7, 46, 56, 63, 180 |
Jilid 3 |
372, 381 |
|
Jilid 5 |
185, 190, 192 |
|
Jilid 6 |
70, 106 |
5.
Hasil Ladang
yang belum menguning bijinya
و حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ وَزُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ
النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ وَعَنْ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ
الْعَاهَةَ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِي[18]
“Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam
melarang menjual kurma hingga tampak buahnya dan bijian sampai mengeras (tampak
matangnya) dan terbebas dari kerusakan, beliau melarang kepada penjual dan
pembeli.”
Hadits diatas
menerangkan larangan jual-beli hasil ladang yang belum menguning. Atau belum
masuk waktu panen, karena hasil ladang seperti biji-bijian atau padi akan
menguning jika waktu panen telah datang.
Hadits di atas
juga telah ditakhrij oleh para muhadditsin.Seperti yang disebutkan di bawah
ini.[19]
Kitab Hadits |
Kitab |
Urutan Bab, Hadits, Halaman |
Shahih al-Bukhari |
Salām |
3 dan 4 |
Shahih Muslim |
Buyu’ |
50 dan 55 |
Sunan Abu Daud |
Buyu’ |
108 |
Musnad Ahmad bin Hanbal |
Jilid 1 |
341 |
Jilid 2 |
5 |
D. PRAKTEK JUAL-BELI YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN
Dalam transaksi
jual-beli tidak semua barang dapat diperjual belikan, karena banyak pula
barang-barang yang dilarang untuk diperjual belikan, diantaranya :
a) Jual-beli munabadzah
Kata munabadzah berasal dari bahasa arabنابذ – ينابذ – منابذة yang berarti saling
membuang atau saling melempar. Dalam hal ini jual-beli munabadzah
dapat diartikan jual-beli yang yang dilakuan oleh dua orang pengakad dengan
saling melemparkan barang dagangan tanpa berfikir panjang.[20]
Dalam hadits pun Nabi telah melarang transaksi jual-beli tersebut.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي
اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُأَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُنَابَذَةِ
وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ
يُقَلِّبَهُ أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ وَنَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُلَامَسَةُ
لَمْسُ الثَّوْبِ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ[21]
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
melarang munaabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya sebagai bukti
pembelian harus terjadi (dengan mengatakan bila kamu sentuh berarti terjadi
transaksi) sebelum orang lain itu menerimanya atau melihatnya dan Beliau juga
melarang mulaamasah, yaitu menjual kain dengan hanya menyentuh kain tersebut
tanpa melihatnya (yaitu dengan suatu syarat misalnya kalau kamu sentuh berarti
kamu harus membeli) ".
b) Jual-beli mulamasah
Kata mulamasah adalah kata yang berasal dari
bahasa arab yang berbentuk mashdar لامس – يلامس – ملامسةyang berarti menyentuh. Dalam hal ini jual-beli
mulamasah adalah jual-beli yang dilakukan oleh dua orang pengakad dimana si
pembeli jika menyentuh barang dagangannya (penjual), maka ia wajib membelinya
tanpa melihatnya dahulu.[22]Dalam
agama Islam transaksi jual beli ini diharamkan, sebagaimana sabda Nabi Saw.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ
قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُنَابَذَةِ وَالْمُلَامَسَةِ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ
صَحِيحٌ[23] وَمَعْنَى هَذَا
الْحَدِيثِ أَنْ يَقُولَ إِذَا نَبَذْتُ إِلَيْكَ الشَّيْءَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَالْمُلَامَسَةُ أَنْ يَقُولَ إِذَا لَمَسْتَ الشَّيْءَ
فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ كَانَ لَا يَرَى مِنْهُ شَيْئًا مِثْلَ مَا
يَكُونُ فِي الْجِرَابِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَإِنَّمَا كَانَ هَذَا مِنْ بُيُوعِ
أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ فَنَهَى عَنْ ذَلِكَ[24]
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan
dan jual beli menggunakan kerikil.Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits
serupa dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa'id dan Anas. Abu Isa berkata; Hadits
Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para
ulama, mereka memakruhkan jual beli yang mengandung unsur penipuan. Asy Syafi'i
berkata; Termasuk jual beli yang mengandung unsur penipuan adalah jual beli
ikan di air, jual beli seorang budak yang melarikan diri, jual beli burung di
langit dan jual beli lain yang semacam itu. Maksud jual beli menggunakan
kerikil adalah seorang penjual mengatakan kepada pembeli; Jika aku membuang
kerikil ini kepadamu, maka wajib terlaksana akad jual beli yang terjadi antara
aku dan kamu.Hal ini serupa dengan jual beli munabadzah yang termasuk salah
satu dari jual beli orang-orang jahiliyah.”
Jika dilihat dari
Fiqh al-Hadits, banyak dari pada ulama yang berbeda pendapat dalam menafsirkan
kata al-mulamasah dalam jual-beli, diantaranya pendapat
al-Syafi’iyah menafsirkan : seseorang yang memegang baju yang masih dilipat
atau dalam keadaan gelap, kemudian si penjual mengatakan bahwa ia telah
membelinya, dan tidak ada pilihan baginya jika ia telah melihatnya.
Pendapat kedua, kata
al-mulamasah ditafsirkan bahwa dua orang pengakad menjadikan
zatnya menyentuh adalah membelibarang dagangan tanpa adanya shigot
tambahan.
Pendapat ketiga,
kata tersebut berarti bahwa dua orang pengakad menjadikan sentuhan adalah
syarat di dalam memutuskan sesuatu, sedangkan jual-beli yang dilihat secara
keseluruhan berarti batal transaksinya.Begitupula tafsiran dari kata al-munabadzahbanyak
dari ulama berbeda pendapat tentangnya.[25]
Hadits diatas tidak
hanya ditakrij oleh al-Tirmidzi, akan tetapi juga terdapat pada kitab-kitab
lainnya seperti pada tabel dibawah ini.[26]
Nama Buku |
Kitab |
Urutan Bab, Hadits, Halaman |
Shahih al-Bukhari |
Buyu’ |
62, 63, dan 93 |
Shahih Muslim |
Buyu’ |
1, 2, dan 3 |
Sunan Abu Daud |
Buyu’ |
24 |
Sunan al-Tirmidzi |
Buyu’ |
69 |
Sunan al-Nasai |
Buyu’ |
23 dan 26 |
Sunan Ibn Majah |
Tijarat |
12 |
Sunan al-Darimi |
Buyu’ |
28 |
Muwaththa’ |
Buyu’ |
76 |
Musnad Ahmad bin Hanbal |
Jilid 2 |
319, 379, 419, 464,
476, 480, 491, 492, 521, 529 |
Jilid 3 |
6, 59, 66, 68, 71, dan 98 |
c) Jual-beli Hashah
Kata hashah adalah bentuk mashdar dari kata حصاة/حَصَى – يَحْصِى – حَصْيًاyang berarti melontar kerikilr.
Dalam transaksi jual beli hashah adalah jual beli yang dilakukan dengan cara
melontar kerikil, sehingga barang yang dikenai oleh jatuhnya kerikil, maka
itulah yang wajib dibeli.[27]
حَدَّثَنَا مُحْرِزُ بْنُ سَلَمَةَ الْعَدَنِيُّ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ
عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ وَعَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ[28]
“Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli gharar (menimbulkan kerugian
bagi orang lain) dan jual beli hashah."
Dalam kitab Fiqh al-Sunnah diterangkan bahwa
pada zaman Jahiliyah telah terjadi transaksi jual-beli al-Hashah ketika mereka
bertransaksi tentang tanah yang tidak ditentukan ukuranluas tanah tersebut
kemudian mereka menentukan ukurannya dengan cara melontar kerikil. Sehingga
ketika krikil itu jatuh maka-tanah yang dijatuhi krikil-itulah ukuran luas
tanah tersebut.Demikianlah transksi tersebut dimakan bay’i al-hashah.[29]
Hadits diatas tidak hanya ditakrij oleh Ibn Majah, akan
tetapi juga terdapat pada kitab-kitab lainnya seperti pada tabel dibawah ini.[30]
Kitab Hadits |
Kitab |
Urutan Bab, Hadits, Halaman Bab |
Shahih Muslim |
Buyu’ |
4 |
Sunan al-Nasai’ |
Buyu’ |
27 |
Sunan Ibn Majah |
Tijarat |
23 |
Sunan al-Darimi |
Buyu’ |
29 |
Musnad Ahmad bin Hanbal |
Jilid 2 |
25, 376, 436, 439, 420, dan 496 |
d) Jual-beli Mudhthar (unsur bahaya)
Kata mudhthar adalah bentuk mashdar dari kata مضطرّا/ اضطرّ– يضطرّ- اضطرّاyang bentuknya
adalah fi’il ruba’i yang berasal dari fi’il tsulatsi dari kata ضرّ – يضرّ - ضرّا yang berarti memberikan kerugian, kerusakan,
atau bahaya.[31]
Dalam transaksi jual-beli bay’u al-mudhthar
adalah jual beli yang memungkinkan dimasukkan unsur dharar pada barang
dagangannya, sehingga memudharatkan pembeli akan barang tersebut. Seperti
seseorang menjual tanah yang diatasnya terdapat pohon kelapa. Namun ia tidak
menjual pohon kelapanya sehingga menyusahkan si pembeli untuk membeli tanah tersebut.
Karena si pembeli tidak dapat menggunakan tanah yang dibelinya dengan sebab
pohon kelapa yang masih ada di atas tanah tersebut.Hal inilah yang dapat
memberikan kemudharatan kepada si pembeli.Oleh karena itu Nabi Saw.melarang
diadakannya jual-beli mudhthar.[32]Sebagaimana
beliau telah bersabda dalam Kitab Sunan Abu Daud.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ
أَخْبَرَنَا صَالِحُ بْنُ عَامِرٍ[33] قَالَ أَبُو دَاوُد: كَذَا قَالَ مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا شَيْخٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ
قَالَخَطَبَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَوْ قَالَ قَالَ عَلِيٌّ قَالَ ابْنُ
عِيسَى هَكَذَا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ
عَضُوضٌ يَعَضُّ الْمُوسِرُ عَلَى مَا فِي يَدَيْهِ وَلَمْ يُؤْمَرْ بِذَلِكَ
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى}وَلَا تَنْسَوْا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ{ وَيُبَايِعُ الْمُضْطَرُّونَ وَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ وَبَيْعِ الْغَرَرِ
وَبَيْعِ الثَّمَرَةِ قَبْلَ أَنْ تُدْرِكَ[34]
“Ibnu Isa berkata; demikianlah Husyaim
menceritakan kepada kami, ia berkata; akan datang kepada manusia suatu zaman
yang menggigit, orang yang berkelapangan menggigit apa yang ada pada keduanya
dan tidak diperintahkan untuk itu. Allah Ta'ala berfirman: "Dan janganlah
kalian melupakan keutamaan diantara kalian." Dan orang-orang yang terdesak
(dalam kondisi terpaksa) melakukan jual beli, sementara Nabi shallallahu
'alaihi wasallam telah melarang dari penjualan orang yang terdesak (dalam kondisi
terpaksa), serta penjualan secara gharar (menipu), dan menjual buah sebelum
sampai waktunya.”
Hadits diatas juga ditakhrij oleh al-Imam
Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 1 Urutan Bab,
Halaman hadits 112.[35]
e) Jual-beli Gharar
Pengertian gharar :
الغر أي المغرور هو الخِدَاعُ الذي هو مَظِنَّةُ عَدَمِ
الرضا به عند تحققه، فيكون من باب أكل أموال الناس بالباطل[36]
“suatu penipuan yang (penipuan
tersebut) adalah suatu tempat ketiadaannya keridhoan (pada jual-beli) ketika
penentuannya (barang jual-beli), maka hal tersebut termasuk kedalam bab memakan
harta orang-orang secara bathil”
Dengan demikian
dapat diartikan transaksi jual-beli gharar adalah jual-beli yang tidak
diketahui akibatnya dari sisi ada dan tidak ada barangnya.Dalam kitab Shahih
Muslim dijabarkan tentang hadits larangan jual-beli gharar.
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُوأُسَامَةَ
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبُو
الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ[37]
“Abu Hurairah
dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan
cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang
mengandung unsur penipuan.”
Hadits diatas
juga ditakhrij oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Musnad Ahmad bin
Hanbal jilid 1 urutan hadits 388
f) Jual-beli Mudzabanah
Kata mudzabanah berasal dari bahasa arab asal kata زابن – يزابن – مزابنةyang berarti
menjual buah yang masih ada diatas pohon. Jual-beli seperti ini tidak
diperbolehkan karena buah yang ingin dijual tidak diketahui ukurannya dan
kematangannya.Sehingga tidak adanya khiyar dalam jual-beli tersebut. Sebgaimana
Rasulullah Saw. telah bersabda.
و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَاشِمٍ حَدَّثَنَا
بَهْزٌ حَدَّثَنَا سَلِيمُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَاءَ عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ وَالْمُخَابَرَةِ وَعَنْ بَيْعِ
الثَّمَرَةِ حَتَّى تُشْقِحَ
قَالَ قُلْتُ لِسَعِيدٍ مَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ
وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا[38]
“Jabir bin Abdullah dia berkata; Rasulullah
Shallallu 'alaihi wa sallam melarang jual beli muzabanah, muhaqalah dan
mukhabarah, melarang menjual buah hingga terlihat matang." Saya bertanya
kepada Sa'id; "Bagaimana terlihat matangnya?"Dia menjawab; "Jika
telah memerah dan menguning dan layak untuk dimakan."
Hadits diatas tidak hanya ditakrij oleh Ibn
Majah, akan tetapi juga terdapat pada kitab-kitab lainnya seperti pada tabel
dibawah ini.[39]
Kiab Hadits |
Kitab |
Urutan Bab, Hadits, Halaman Bab |
Muwaththta’ Malik |
Buyu’ |
23-25 |
Shahih al-Bukhari |
Syurb |
17 |
Buyu’ |
75, 82, 91, 93 |
|
Shahih Muslim |
Buyu’ |
59, 67, 70, 72-75, 81-85, 103-105 |
Sunan Abu Daud |
Buyu’ |
31 dan 33 |
Sunan al-Tirmidzi |
Buyu’ |
14, 55, 62, 70,72 |
Sunan al-Nasai’ |
Aiman |
45 |
Buyu’ |
28, 33, 35, 36, 39, 74 |
|
Sunan Ibn Majah |
Tijarat |
54 |
Rahn |
7 |
|
Sunan al-Darimi |
Muqaddima |
28 |
Buyu’ |
23 |
|
Musnad Ahmad Bin Hanbal |
Jilid 2 |
5,7, 16, 63, 64, 108, 123, 392, 419, 484 |
Jilid 3 |
6, 8, 60, 67, 313, 356, 360, 391, 392, 464 |
E. ANCAMAN-ANCAMAN DALAM JUAL BELI
Jual-beli pada
dasarnya adalah transaksi antara penjual dan pembeli disertai saling suka atau
adanya keridhaan antara keduanya.Sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan
setelah selesainya akad. Namun pada kenyataannya banyak pedagang atau pembeli
berbuat curang pada barang dagangannya seperti penjual menyembunyikan hal-hal
yang dapat merugikan si pembeli, sedangkan si pembeli tidak mengetahuinya dan
pembeli mengambil barang dengan lebih namun ia tidak memberitahu si penjual.
Padahal Nabi Saw telah bersabda tentang penjual dan pembeli yang berdusta dan
menyembunyikan aib atas barang dagangan.
حَدَّثَنَا بَدَلُ
بْنُ الْمُحَبَّرِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
الْخَلِيلِ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ
حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى
يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ
كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا[40]
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang melakukan
jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan
jual beli) selama keduanya belum berpisah", Atau sabda Beliau:
"hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan cacat
dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan
cacat dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya".
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ أَخْبَرَنِي طَاوُسٌ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ بَلَغَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِأَنَّ فُلَانًا
بَاعَ خَمْرًا فَقَالَ قَاتَلَ اللَّهُ فُلَانًا أَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ
حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُومُ فَجَمَلُوهَا فَبَاعُوهَا[41]
“Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; sampai kabar kepada 'Umar bin Al
Khaththob bahwa fulan menjual khamar (minuman keras) lalu dia berkata; semoga
Allah membinasakan si fulan, tidakkah dia mengetahui bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Semoga Allah melaknat
Yahudi, karena telah diharamkan atas mereka lemak hewan (sapi dan kambing)
namun mereka mencairkannya lalu memperjual belikannya".
Pada hadits di atas Nabi menerangkan ancaman Allah terhadap orang yahudi, karena mereka memperjual belikan lemak, mencairkannya, dan menjualnya. Pada hadits diatas Allah memberikan ancaman dengan mengunakan kata قَاتَلَ yang arti dasarnya adalah membunuh. Karena bagi orang Arab kata tersebut digunakan untuk mencela seseorang. Namun pada hadits diatas kata tersebut dimaknai dengan kata لعنyang berarti Allah melaknat orang yang memperjual belikan lemak bangkai.
F. PENUTUP
a. Kesimpulan
Ø jual-beli adalah salah satu dari bermacm-macam transaksi
yang dilakuka oleh masyarakat zaman ini.
Ø syarat-syarat jual-beli yaitu :
·
Penjual,
·
Pembeli,
·
Barang yang
ingin diperjual belikan.
Ø Barang-barang yang tidak boleh diperjual belikan,
diantaranya :
·
Anggur yang
dijadikan khamar,
·
Pedang yang
digunakan untuk kejahatan,
·
Air,
·
Buah-buahan
yang belum tampak kematangannya,
·
Hasil ladang
yang belum tampak menguning bijinya.
Ø Praktek-praktek jual-beli yang tidak diperbolehkan.
·
Jual-beli
Munabadzah,
·
Jual-beli Mulamasaah,
·
Jual-beli
Hashah,
·
Jual-beli
Mudhthar,
·
Jual-beli
Gharar,
·
Jual-beli
Mudzabanah.
b. Saran
Telah selesailah makalah pembahasan jual-beli.Namun dalam
penyusunan serta penulisan dan pembahasan pada makalah ini sangatlah masih
kurang dari kesempurnaan.Kami sebagai pemakalah menyarankan kepada para pembaca
untuk meneruskan analisa pembahasan tentang jual-beli secara luas dan mendalam.
Abadi, Abu Thayyib Muhammad Syamsy al-Haq
al-‘Adzim.Sunan Abu Daud. Dar al-Fikri. t.tp. t.th
A.I. Wensink. 1967. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfadz
al-Hadits al-Nabawi.London : Barel
al-Asqalani,Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. 2004. Fath
al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari. al-Qahirah : Dar al-Hadits
al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain.Syu’bu
al-Iman. Jilid 5. Bairut : Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah. t.th
Sabiq, Sayyid, Fiqih
al-Sunnah.Jilid 3.Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah. t.tp. t.th
al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan
al-Qusyairi.Shahih Muslim. Bairut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi. t.th
al-Nawawi, Al-Imam. 2001. Shahih Muslim Bi
Syarh al-Nawawi. al-Qahirah : Dar al-Hadits
al-Syaibani,
Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdillah.Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Jilid 2.
Bairut : Muassasah Qurthubah. t.th
al-Qazwaini, Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdillah.Sunan
Ibn Majah.Bairut : Dar al-Fikr. t.th
[1]Sayyid
Sabiq,Fiqih al-Sunnah, Jilid 3, Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.tp,
t.th, h. 46
[2] Muhammad bin
Isma’il al-Kahlani, Jilid 3, Subul Al-Salam, (Bamdung : Maktabah Dahlan,
t.th) h. 3
[3]Subul Al-Salam,
h.4
[4]Taudhihulahkam 4/213-214
[5]QS. An-Nisaa’: 29
[6]Fikih
Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92
[7]Abu Thayyib Muhammad Syamsy al-Haq al-‘Adzim Abadi, Sunan Abu Daud,
(Dar al-Fikri, t.tp, t.th), h. 376
Hadits
ini juga ditakhrij oleh para muhadditsin
yaitu :, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, IbnuMajah 2187, Ahmad
III/402 dan 434. Hadits tersebut berkualitas shahih.
[8]Lihat Fiqhwa Fatawa
al-Buyu’ hal. 24
[9]Muslim bin
al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bairut
: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi , t.th), h. 37
[10]Muhammad bin
Yazid Abu ‘abdillah al-Qazwaii, Sunan Ibn Majah, (Bairut : Dar al-Fikr,
t.th), h. 7. Hadits ini juga ditakhrij oleh muhadditsin
lain yaitu : Musnad Ahmad bin Hanbal
IV/158 dan Muwaththa’ Malik IV/884, 887
[11]Shahih Muslim, h. 266
[12]Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Syu’bu al-Iman, Jilid 5,
(Bairut : Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.th), h. 17. Bab al-Tsalatsuna min
Syu’bi al-Iman.
[13] Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdillah al-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad bin
Hanbal, Jilid 2, (Bairut : Muassasah Qurthubah, t.th), h. 97
[14] [389] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka
ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[390] Maksudnya
antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan
Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan
peperangan di bulan-bulan itu.
[391] Ialah:
binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya
dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[392] Ialah: binatang
had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah
diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[393] Dimaksud dengan karunia Ialah:
Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah Ialah:
pahala amalan haji.
[15] Muhammad bin
Yazid Abu ‘abdillah al-Qazwaii, Sunan Ibn Majah, (Bairut : Dar al-Fikr,
t.th), h. 335
[16] Ahmad bin ‘Ali
bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari,
(al-Qahirah : Dar al-Hadits, 2004), h. 457
[17]A.I. Wensink, al-Mu’jam
al-Mufahras Li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, (London : Barel, 1967), h. 156
[18] Al-Imam
al-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh al-Nawawi, (al-Qahirah : Dar
al-Hadits, 2001), h. 440
[19]al-Mu’jam
al-Mufahras Li Alfadz al-Hadits al-Nabawi,h. 254
[20]Fiqih
al-Sunnah, h. 103
[21]Fath al-Bari Bi Syarh
Shahih al-Bukhari,
h. 314
[22]Fiqih al-Sunnah, h. 103
[23] Hadits ini berkualitas Hasan-Shahih,
karena hadits ini juga di takhrij oleh al-Bukhari dan Muslim
[24]Abu al-‘Ala Muhammad
‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Rahim al-Mubarakafuri, Tuhfah al-Ahwadzi Bi Syarh
Jami’ al-Tirmidzi, (Mesir : Syirkah al-Qudus, 2009), h. 530
[25]Tuhfah al-Ahwadzi Bi
Syarh Jami’ al-Tirmidzi,
h. 530
[26]al-Mu’jam al-Mufahras Li
Alfadz al-Hadits al-Nabawi,
h. 146
[27]Fiqih al-Sunnah, h. 103
[28]Sunan
Ibn Majah, h. 433
[29]Fiqih
al-Sunnah, h. 103
[30]Al-Mu’jam
al-Mufahras Li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, h. 475
[31]Al-Munjid
Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Bairut : Dar al-Masyruq, 2002), h. 447
[32] Abu Malik
Kamal bin al-Sayyid Salim, Shahih fiqih Sunnah, Jilid 4,(Jakarta :
Pustaka Azzam, 2007), h. 487
[33] Penjelasan
tentang Shalih bin ‘Amir
)أنبأنا
صالح بن عامر ) قال في التقريب صالح بن عامر عن شيخ من بني تميم صوابه صالح أبو
عامر وهو الخزاز بينه سعيد بن منصور في سننه وهم المزي فقال صوابه صالح عن عامر أي
بن حي عن الشعبي وليسكما قال انتهى
[34] Abu Thayyib
Muhammad Syamsy al-Haq al-‘Adzim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud,
(Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), h. 238-239
[35]Al-Mu’jam
al-Mufahras Li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, h. 498
[36]Fiqih
al-Sunnah, h. 102
[37]Shahih
Muslim, h. 37
[38]Shahih
Muslim, h. 126
[39]Al-Mu’jam
al-Mufahras Li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, h. 327
[40] Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih
al-Mukhtashar, (Bairut : Dar Ibn Katsir, 1987), h. 283
[41]Fath
al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, h. 476
0 Comments