PENDAHULUAN
Nabi
Muhammad saw lahir di kota Makkah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal
bertepatan dengan 20 April 571 M. Tahun kelahiran beliau dikenal dengan tahun
Gajah. Hal itu dikarenakan pasukan Abrahah dengan menaiki gajah ingin menyerbu
kota Makkah al-Mukarramah untuk menghancurkan Ka’bah.Ayahnya bernama Abdullah
bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab.[1]
Pada waktu lahir Nabi Muhammad saw dalam keadaan yatim karena
ayahnya Abdullah meninggal dunia ketika masih dalam kandungan. Nabi Muhammad
saw diserahkan kepada ibu asuhnya yang bernama Halimah Sa’diyah. Bersamanya
Nabi Muhammad saw diasuhnya selama empat tahun. Setelah lebih kurang dua tahun
berada dalam asuhan ibu kandungnya, ketika berusia enam tahun, ibunya pun
meninggal dunia dan Nabi Muhammad saw menjadi yatim piatu. Kemudian Nabi
Muhammad saw berada dalam asuhan Abdul Muthalib.
Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia. Tanggung jawab
selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib,
dia juga sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara
keseluruhan.[2]
Ada dua jenis pekerjaan yang dilakukan Nabi Muhammad saw sebelum
menjadi Rasul. Pertama, mengembala kambing ketika ia bersama ibu susuannya
Halimah Sa’diyah tinggal di desa. Kedua, berdagang ketika ia tinggal bersama
pamannya, ia mengikuti pemannya berdagang ke negeri Syam, sampai ia dewasa dan
dapat berdiri sendiri.[3]
Menjelang usia 40 tahun, Nabi Muhammad saw mengasingkan diri ke Gua
Hira’ untuk berkhalwat. Istrinya Khadijah memberi dukungan penuh kepada Nabi
Muhammad saw. Khadijah selalu menyiapkan bekal untuk dibawa Nabi Muhammad saw
ke Gua Hira’. Pada usia 40 tahun, pada tanggal 17 Ramadhan 611 M, malaikat
Jibril mendatanginya menyampaikan wahyu
Allah yang pertama surat al-Alaq (ayat 1-5). Berarti secara simbolis Nabi
Muhammad saw telah dilantik sebagai Nabi akhir zaman.[4]
PERIODE
MAKKAH
A.
Dakwah secara sembunyi-sembunyi
Pada
periode Makkah, tiga tahun pertama dakwah Nabi Muhammad saw dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Dakwah yang pertama kali Nabi Muhammad saw lakukan adalah di
lingkungan keluarga yang mula-mula kepada istri beliau, Khadijah ra, lalu
kepada Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr, kemduai Zaid bekas budak beliau. Di
samping itu ada juga orang-orang yang masuk Islam dengan perantara Abu Bakr, di
antaranya adalah Utsman bin Affan, Zubair bin
Awwan, a’ad bin Abi Waqqash, Abdur Rahman bin ‘Auf, Thalhah bin ‘Ubaidillah,
Abu Ubaidah bin Jarhah, dan Al-Arqam bin Abil Arqam, yang rumahnya dijadikan
markas untuk
berdakwah (rumah Arqam).[5]
Selanjutnya Nabi
Muhammad saw juga berdakwah kepada keluarga yang lain, yaitu kepada rumpun Bani
Abdul Muthalib diajak untuk masuk Islam. Dakwah kepada keluarga ini ditolak dan
ditentang keras oleh pamannya sendiri yaitu Abu Lahab. Sekalipun banyak yang
menentang, tetapi ada juga yang memberikan perlindungan kepada nabi Muhammad
saw sebagaimana kehidupan orang Arab yang berkelompok.[6]
B.
Dakwah Secara Terang-Terangan
Langkah dakwah selanjutnya menyeru kepada masyarakat secara umum. Dakwah
secara terang-terangan ini dilakukan Nabi Muhammad saw setelah turunnya wahyu
al-Qur’an surah al-Hijr/15: 94, yaitu:
فَٱصۡدَعۡ بِمَا
تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
Artinya: “Maka sampaikanlah
olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. [Qs. Al-Hijr/15: 94]
Nabi Muhammad saw
menyeru kepada bangsawan dan seluruh masyarakat Quraisy. Pada awalnya Nabi Muhammad
saw berdakwah secara terang-terangan kepada masyarakat Makkah dan dilanjutkan
pada penduduk di luar Makkah. Nabi Muhammad saw dengan gencar berdakwah
mengajak masyarakat agar masuk Islam.[7] Dengan
usaha nabi yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut
nabi mulai bertambah dari hari ke hari. Mereka terutama terdiri dari perempuan,
budak, pekerja, dan orang miskin.
Setelah dakwah yang
dilakukan nabi semakin hari semakin bertambah pengikutnya, pemimpin Quraisy
mulai gusar dan menghalangi dakwah Rasulullah saw tersebut. Mereka menentang
dengan keras. Menurut Ahmad Syalabi terdapat lima faktor yang mendorong orang
Quraisy menentang dakwah Islam, yaitu:
1. Para pemimpin Quraisy tidak dapat
menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan hari pembalasan di akhirat.
2. Mereka tidak dapat membedakan antara
kenabian dan kekuasaan. Mereka berpandangan bahwa tunduk pada seruan Nabi
Muhammad saw berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib.
3. Takut kehilangan mata pencaharian
sebagai pemahat dan penjual patung berhala.
4. Nabi Muhammad saw menyerukan
persamaan antara hamba dan bangsawan.
5. Taklid kepada nenek moyang adalah
kebiasaan bangsa Arab.
Kaum kafir Quraisy menghalangi dan menentang dakwah Nabi Muhammad
saw dengan bertahap. Pertama, membujuk. Nabi Muhammad saw berada dalam
perlindungan Abu Thalib yang amat disegani. Mereka memberikan kepada Abu Thalib
dua pilihan, yaitu memerintahkan kepadanya agar Nabi Muhammad saw berhenti
berdakwah atau menyerahkan Nabi Muhammad saw kepada mereka untuk dibunuh. Nabi
Muhammad saw menolak untuk berhenti berdakwah sekalipun dikucilkan dari
keluarga.[8]
Kaum Quraisy gagal membuat Nabi Muhammad saw berhenti berdakwah.
Kemudian mereka mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid.
Pemuda yang gagah dan tampan untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad saw.
Namun cara ini pun langsung ditolak oleh Abu Thalib.
Cara selanjutnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy yaitu dengan
membujuk langsung Nabi Muhammad saw dengan wanita, harta, dan jabatan agar nabi
berhenti meneruskan dakwahnya.
Cara ini pun ditolak dengan tegas oleh Nabi Muhammad saw dengan mengatakan “Demi
Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini sehingga agama ini menang atau
aku binasa karenanya.”[9]
Kedua, mengintimidasi. Setelah sebelumnya
gagal dengan cara membujuk, kaum kafir Quraisy melakukan tindakan yang lebih
keras dan intensif dari sebelumnya kepada umat Islam. Budak-budak yang masuk
Islam disiksa dengan sangat kejam. Para pemimpin quraisy menyuruh menyiksa
budak yang mereka miliki hingga ia keluar dari Islam.[10]
Ketiga, memboikot seluruh keluarga Bani
Hasyim. Pemimpin Quraisy melakukan pemboikotan terhadap umat Islam untuk
melumpuhkan kekuatan kaum muslimin. Karena mereka berangapakan bahwa kekuatan
nabi terletak pada kekuatan keluarganya yang melindunginya, baik yang belum
atau pun yang sudah masuk Islam. Kafir Quraisy memutuskan segala hubungan
dengan suku ini.[11]
Seluruh penduduk Makkah tidak
diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Akibatnya banyak
dari keluarga Bani Hasyim menderita. Tindakan pemboikotan ini dimulai pada
tahun ke-7 dari kenabian hingga tahun ke-10 menjelang Abu Thalib dan Khadijah
meninggal, hal itu berlangsung selama 3 tahun.[12]
ARTI HIJRAH
Kata hijrah berasal dari bahasa Arab yang
berarti meninggalkan suatu perbuatan atau menjauhkan diri dari pergaulan atau
berpisah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Adapun menurut syariat, hijrah
ada tiga macam, yaitu:[13]
1.
Hijrah dari meninggalkan semua perbuatan yang
dilarang oleh Allah. Hijrah ini adalah wajib dikerjakan oleh setiap orang yang
mengaku beragama Islam.
2.
Hijrah mengasingkan dari pergaulan dengan
orang-orang musyrik atau orang-orang kafir yang memfitnah orang-orang yang
memeluk Islam.
3.
Hijrah berpindah dari negeri atau daerah
orang-orang kafir musyrik ke negeri atau daerah orang-orang Muslim. Seperti
hijrah Nabi Muhammad saw.
PERIODE MADINAH
Situasi di kota Madinah sangat
menggembirakan. Madinah juga dihuni oleh beberapa suku berbeda. Madinah adalah
perkampungan yang diributkan oleh dua suku besar, yaitu Aus dan Khazraj.
Permusuhan yang berkepanjangan mengancam rakyat kecil dan mendukung timbulnya
permasalahan eksistensi.[14]
Penduduk
Yatsrib -nama semula Madinah- sebelum Islam terdiri dari dua suku bangsa yaitu
Arab dan Yahudi yang keduanya saling bermusuhan. Karena kegiatan dagang di
Yatsrib dikuasai oleh orang Yahudi. Ketika permusuhan antara Arab dan Yahudi
semakin meruncing, kaum Yahudi melakukan siasat memecah belah dengan melakukan
intrik dan menyebarkan permusuhan dan kebencian di antara suku Auz dan Khazraj.
Siasat ini berhasil dengan baik bahkan siasat itu mendorong suku Khazraj
bersekutu dengan Bani Qainuqah (Yahudi). Sedangkan suku Aus bersekutu dengan
Bani Quraizah dan Bani Nadir. Klimaks
dari permusuhan dua suku tersebut adalah perang Bu’as pada tahun 618 M seusai
perang baik kaum aus maupun khazraj menyadari, akibat dari permusuhan mereka,
sehingga mereka berdamai.[15]
Peristiwa
hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah merupakan perintah Allah swt
dengan tujuan agar penyebaran Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw berkembang
lebih pesat lagi. Selama 13 tahun dakwah nabi di kota Makkah banyak mengalami
pertentangan dan permusuhan. Namun di Madinah penduduknya lebih mudah menerima
dakwah Nabi Muhammad saw. Masyarakat Madinah menerima dan menyambut kedatangan
Nabi Muhammad saw dengan suka cita. Islam lebih cepat berkembang di Madinah.
Nabi Muhammad saw ketika hijrah ke Madinah ditemani
sahabatnya yaitu Abu Bakr. Mereka berdua singgah di Gua Tsur, arah selatan kota
Makkah untuk menghindari perjalanan orang kafir Quraisy. Mereka bersembunyi di
sana selama 3 malam. Barulah pada malam ketiga mereka keluar dan melanjutkan
perjalanan menuju Yatsrib.[16]
Setelah tujuh hari dalam perjanalan Nabi Muhammad saw
dan Abu Bakr sampai di Quba. Ketika tiba di Quba, Nabi Muhammad saw beritirahat
beberapa hari di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi Muhammad
saw membangun sebuah masjid pertama yang dikenal dengan Masjid Quba.[17]
Pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awal atau 24 September 622
M, Nabi Muhammad saw meninggalkan kota Quba. Di tengah perjalanan di
perkampungan Bani Salim, Nabi Muhammad saw melaksanakan shalat Jum’at pertama
dalam sejarah Islam. Setelah shalat Jum’at, perjalanan dilanjutkan kembali
menuju Yatsrib dan disambut oleh Bani Najjar.[18]
Begitu
Rasulullah tiba di kota Yatsrib ini beliau melepaskan tali kekang untanya dan
membiarkannya berjalan sekehendaknya. Unta itu berhenti di sebidang kebun korma
milik dua anak yatim bernama Sahl dan Suhail yang diasuh oleh Abu Ayyub. Kebun
itu dijal dan di atasnya dibangun masjid atas perintah Rasulullah. Sejak itu
nama kota Yatsrib ditukar menjadi “Madinatun
Nabi”, tetapi dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut “Madinah”saja.[19]
Dengan
kekuasaan di tangan Nabi Muhammad saw Islam pun lebih mudah disebarkan. Untuk
memperkokoh masyarakat dan negara baru, maka Nabi Muhammad saw segera
meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Adapun dasar-dasar tersebut
adalah:
A.
Mendirikan
Masjid Nabawi
Nabi Muhammad Saw, mendirikan masjid sebagai tempat peribadatan dan pertemuan yang diberi nama masjid “Nabawi”. Kegunaan masjid ini selain tempat untuk melaksanakan shalat, juga sebagai sarana mempersatukan kaum Muslimin, dan tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada masa Nabi bahkan berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dalam pembangunan masjid ini nabi ikut serta, bahkan mengangkat dan memindahkan batu-batu dengan tangannya sendiri. Saat itu, masjid dihadapkan ke Baitul Maqdis. Tiang masjid terbuat dari batang kurma, sedangkan atapnya dibuat dari pelepah daun kurma. Adapun kamar-kamar istri nabi dibuat disamping masjid. Tatkala pembangunan selesai, nabi memasuki pernikahan dengan Aisyah pada bulan syawal. Sejak saat itulah, Yatsrib dikenal dengan Madinatur Rasul atau Madinah al-Munawwarah.[20]
B.
Mempersaudarakan
Anhsar dan Muhajirin
Nabi
mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, penduduk Madinah yang sudah masuk
Islam. Dengan demikian diharapkan, setiap Muslim merasa terikat dalam satu
persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw ini berarti
menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan mereka
berdasarkan agama untuk menggantikan persaudaraan berdasarkan darah atau
kabilah.
Dengan demikian
tidak ada jurang pemisah antara golongan yang kaya dengan yang miskin, maupun
golongan yang kuat dengan yang lemah. Sehingga jumlah dan kekuatan umat Islam
semakin hari semakin bertambah besar dan kuat. Tidak mudah untuk dikalahkan
oleh suku dari golongan manapun juga. Persaudaraan ini tampak nyata dan
dibuktikan dalam kehidupan mereka seperti orang yang kaya atau mempunyai harta
berlebih maka ia memberikan kepada yang membutuhkan. Bagi yang beristri lebih
dari satu, dua, tiga, dan seterusnya, mereka memberikan kepada yang
membutuhkan. Di sinilah letak gotong royong yang sangat kuat antara mereka. Hal
ini selaras dengan bunyi ayat Al-Qur'an yang artinya: bergotong-royonglah
kalian dalam perbuatan baik dan taqwa. Dan janganlah kalian bergotong-royong
dalam keburukan dan dosa.[21]
C.
Piagam Madinah
Di Madinah, di samping terdapat orang-orang Arab Islam,
juga ada golongan masyarakat Yahudi (Bani Nadzir, Bani Quraidzah, Bani
Qainuqa’) dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka.
Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad saw mengadakan
ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama
orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan.
Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam
bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota
masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.
Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw menjadi kepala
pemerintah karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas
mutlak diberikan kepadanya. Dalam bidang sosial, Nabi Muhammad saw juga
meletakkan dasar persamaan antara sesama manusia. Perjanjian ini dalam
pandangan ketatanegaraan sekarang sering disebut dengan Konstitusi Madinah
(Piagam Madinah).[22]
Dasar-dasar kenegaraan yang terdapat dalam piagam
tersebut adalah sebagi berikut. Pertama, umat Islam merupakan satu
komunitas (umat) meskipun berasal dari suku beragam. Kedua, hubungan
antar sesama anggota komunitas Islam dengan komunitas lain dibangun atas dasar
prinsip-prinsip: (a) bertetangga baik. (b) saling membantu dalam menghadapi
musuh bersama. (c) membela mereka yang dianiaya. (d) saling menasehati dan (e)
menghormati beragam.[23]
Secara garis besar, Piagam Madinah dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian: Pertama, perjanjian Nabi Muhammad saw
dengan pihak Yahudi dan kedua, perjanjian Nabi dengan Muhajirin dan
Anshar. Piagam Madinah telah menjadi dasar persatuan penduduk Yatsrib yang
terdiri dari pihak Muhajirin, Anshar, dan Yahudi. Ketiganya sepakat menjadikan
madinah sebagai kota peradaban Islam saat itu yang terhindar dari hal-hal yang
tidak diinginkan menyangkut hubungan bilateral antara mereka.[24]
Sebuah simpulan yang dapat diambil, bahwa Muhammad saw adalah Nabi akhir yang telah mengimplementasikan prinsip kebebasan agama dan toleransi beragam Akhirnya Piagam Madinah merupakan fakta sejarah atas realisasi kebebasan berpikir dan kebebasan agama serta toleransi beragama dalam Islam.
D.
Peletakan Asas
Politik, Ekonomi, dan Sosial
Hal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat
Yatsrib adalah sebagai berikut: Pertama, mengubah nama Yatsrib menjadi
Madinah dengan untuk membentuk masyarakat yang tertib. Kedua, membangun
masjid sebagai tempat ibadah, sarana mempersatukan umat dan membahas
masalah-masalah yang dihadapi. Ketiga, membentuk persaudaraan antara
kaum Muhajirin dan Anshar. Keempat, membentuk persahabatan dengan
pihak-pihak lain yang non-Islam. Kelima, membentuk
pasukan tentara untuk mengantisipasi gangguan yang dilakukan oleh musuh.[25]
Menurut
Nurkholis Madjid sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriyadi bahwa, agenda politik
kerasulan telah diletakannya yakni dengan bertindak sebagai utusan Allah,
kepala negara, komandan tentara, dan pemimpin masyarakat. Semua yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw di kota hijrah itu merupakan refleksi dari ide yang
terkandung dalam perkataan Arab Madinah, yang secara etimilogis berarti tempat
peradaban. Di kota inilah Nabi Muhammad saw membangun peradaban manusia yang
luar biasa.[26] Selanjutnya urusan
politik di Madinah banyak diatur dalam Piagam Madinah sebagaimana pembahasan
yang telah disebutkan di atas.
KESIMPULAN
Demikian pembahasan tentang sejarah peradaban masa Nabi Muhammad
saw. Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul di kota Makkah. Berdakwah secara
sembunyi-sembunyi dan mendapatkan banyak tantangan dari kafir Quraisy. Lalu
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk hijrah ke Yatsrib. Di kota
ini Nabi Muhammad saw membangun peradaban masyarakat yang luar biasa. Beberapa hal yang Nabi Muhammad saw
lakukan di kota Madinah adalah sebagai berikut:
1.
Membangun masjid Nabawi selain sebagai tempat ibadah, masjid ini
digunakan untuk hal-hal lain juga, seperti mendiskusikan masalah-masalah yang
dihadapi.
2.
Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.
3. Membuat konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah.
DAFTAR PUSTAKA
Chalil, KH. Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, jilid
I. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Nasution, H. Syamruddin. Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Riau:
Asa Riau, 2017.
Saufi, Akhmad, dan Hasmi Fadillah. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta:
Deepublish, 2012.
Sewang, H. Anwar. Sejarah Peradaban Islam. Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAIN) Parepare, Sulawesi Selatan, 2017.
Sodikin, Ahmad. “Kemajuan Peradaban Islam Awal Masa Nabi Muhammad
saw,” Jurnal Mahasantri, volume 1, No. 1 (September 2020).
Sulaiman, Ruysdi. “Muhammad saw dan Peradaban Umat (Analisis
Ketokohan dan Kepemimpinan Rasulullah),” Jurnal Keislaman dan
Kemasyarakatan, volume 1, No. 1 (2017).
Ya’kub, M, dkk. Sejarah Peradaban Islam Pendekatan Periodesasi. Medan:
Perdana Publishing, 2015.
Yamin, Muhammad. “Peradaban Islam Pada Masa Nabi Muhammad saw,” Jurnal
Ihya al-‘Arabiyah (2017).
[1] M. Ya’kub,
dkk, Sejarah Peradaban Islam Pendekatan Periodesasi (Medan: Perdana
Publishing, 2015), h. 12.
[2] M. Ya’kub,
dkk, Sejarah Peradaban, h. 12.
[3] H. Syamruddin
Nasution, Sejarah Perkembangan Peradaban Islam (Riau: Asa Riau, 2017),
h.32.
[4] H. Syamruddin
Nasution, Sejarah Perkembangan, h.36.
[5] H. Anwar
Sewang, Sejarah Peradaban Islam, (Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN)
Parepare, Sulawesi Selatan, 2017), h. 86-87.
[6] Akhmad Saufi
dan Hasmi Fadillah, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Deepublish,
2012), h. 7.
[7] M. Ya’kub,
dkk, Sejarah Peradaban, h. 15.
[8] H. Syamruddin Nasution, Sejarah
Perkembangan, h. 39.
[9] H. Syamruddin Nasution, Sejarah
Perkembangan, h. 40.
[10] H. Syamruddin
Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 41
[11] H. Syamruddin
Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 41.
[12] H. Syamruddin
Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 41.
[13] KH. Moenawar
Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, jilid I, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), h. 419-420.
[14] Muhammad
Yamin, “Peradaban Islam Pada Masa Nabi Muhammad saw,” Jurnal Ihya
al-‘Arabiyah (2017), h. 114.
[15] Muhammad Yamin, “Peradaban Islam,” h. 114.
[16] H. Syamruddin Nasution, Sejarah
Perkembangan, h. 46.
[17] H. Syamruddin Nasution, Sejarah
Perkembangan, h. 46.
[18] H. Syamruddin Nasution, Sejarah
Perkembangan, h. 46-47.
[19] H. Syamruddin Nasution, Sejarah
Perkembangan, h. 47.
[20] Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban Islam Awal
Masa Nabi Muhammad saw,” Jurnal Mahasantri, volume 1, No. 1 (September
2020): h. 143.
[21] Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 144.
[22] Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 145.
[23] Ruysdi
Sulaiman, “Muhammad saw dan Peradaban Umat (Analisis Ketokohan dan Kepemimpinan
Rasulullah),” Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan, volume 1, No. 1
(2017): h. 9.
[24] Ruysdi Sulaiman, “Muhammad saw, h. 10.
[25] Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 146.
[26] Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 146.
0 Comments