ilmu-ushuluddin.blogspot.com-
Aliran Maturidiyah terbagi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Dalam pandangannya mengenai akal dan wahyu ada yang lebih dekat kepada Mu'tazilah dan ada juga yang lebih dekat kepada Asy’ariyah. Berikut adalah uraian singkat mengenai hal tersebut. Semoga bermanfaat.
Dalam hal ini Al-Maturidiyah berbeda pendapat dengan
Asy’ariyah tetapi ia sepaham dengan aliran Mu’tazilah yang mengatakan bahwa
akal manusia dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada
tuhan. Dan paham ini juga banyak dianut oleh ulama Samarkand dan sebagian
ulama Irak.
Keterangan
ini juga diperkuat oleh Abu ‘usbah :
“dalam
pendapat mutazilah orang yang berakal, muda-tua tak dapat diberi ma’af dalam
soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai
kewjiban percaya pada tuhan, ia mesti diberi hukum dalam maturidiah anak yang
belum baliq, tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi abu Mansur al-maturidi
berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui
Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara maturidiah dan mu’tazilah "
Sebagian ulama ada yang mengatakan tentang buah
pemikiran yang dikemukakan oleh Al-Maturidi, namun pernyataan mereka tidak
dapat mewakili apa yang sebenarnya yang memang menjadi buah pemikiran Al
Maturidi. Untuk itu satu hal yang harus kita lakukan adalah menyelidiki
langsung terhadap karya-karya yang telah beliau karang. Seperti yang dikutip
oleh Harun Nasution dalam bukunya “Theologi Islam, Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan” bahwa al Maturidi menulis dalam kitabnya
yang bernama Kitab Al- Tauhid, dalam kitab ini berisi
penjelasan tentang hal ini. “ Akal, kata al- Maturidi, mngetahui sifat baik
yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat
yang buruk; dengan demikian akal juga tahu bahwa bahwa berbuat buruk adalah
buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang memastikan
adanya perintah dan larangan.
Akal, kata al maturidi selanjutnya, mengetahui
bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak adil dan tak
lurus adalah buruk.[8] Dengan demikian dapat kita ambil
kesimpulan bahwa dengan akal kita bias mengetahi perbuatan yang baik itu baik
dan perbuatan yang buruk itu adalah buruk.
Ada
tiga persoalan pokok yang dibahas oleh al-Maturdi yang berkaitan dengan akal.
1)
Yang
diwajibkan akal untuk mengetahui hal itu adalah adanya perintah dan larangan,
dan bukan mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk.
2) Akal tak dapat mengetahui kewajiban itu. Sekiranya
dapat maka keterangan al-Maturidi diatas seharusnya berbunyi fayajib I’tinaq
al-hasan wa ijtinab al-qabih bidarurah al ‘aql.
3) Yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya
perintah dan larangan tuhan.
Demikianlah
pendapat-pendapat al-Maturidi diatas yang diterima oleh pengikut-pengikutnya
yang di samarkand.
Adapun
pengikut-pengikutnya yang di Bukhara, mereka mempunyai pemahaman yang berlainan
sedikit. Perbedaan antara golongan samarkand dan bukhara berkisar sekitar
persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Lebih
jelasnya golongsn bukhara berpandangan bahwa “akal tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewjiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat
kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban akibat dari pendapat demikian ialah bahwa
mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelumnya turunnya
wahyu tidak wajib bagi manusia. Dan ini merupakan pendapat glongan bukhara.
Alim ulama bukhara, kata abu ushbah, berpendapat bahwa sebelum adanya
rasul-rasul.percaya kepada tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya kepada
tuhan bukanlah merupakan dosa”.[9]
Menurut
Salafiyah
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan fungsi akal.
Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam
Islam dan segala sesuatu yang bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang
cabang, baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain
sumbernya ialah wahyu Allah SWT yakni Al-Qur’an dan juga Hadits-hadiits Nabi
SAW sebagai penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan
dijelaskan oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk
mentakwilkan Al-Qur’an atau mentafsirkannya ataupun menguraikannya, kecuali
dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pula
oleh hadits-hadits. Kekuatan akal sesudah itu tidak hanya membenarkan dan
tunduk pada nash, serta mendekatnya kepada alam pikiran. Jadi fungsi akal
pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil
Al-Qur’an , bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya.[10]
0 Comments