Menurut Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi
akal. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan
hadits-hadits Nabi.
Segala
sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang tidak sesuai dengan
akalnya dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan
masalah itu, tetapi berlawanan dengan akalnya. Jadi jelasnya menurut kaum
Mu’tazilah, fungsi akal lebih tinggi ketimbang wahyu.
Menurut Salafiyah
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan fungsi akal.
Jalan
untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan segala sesuatu yang
bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang cabang, baik aqidah itu
sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya ialah wahyu
Allah SWT yakni Al-Qur’an dan juga Hadits-hadiits Nabi SAW sebagai
penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh
Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.4
Akal
pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk mentakwilkan Al-Qur’an atau
mentafsirkannya ataupun menguraikannya, keucali dalam batas-batas yang
diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pila oleh hadits-hadits.
Kekuatan akal sesudah itu tidak hanya membenarkan dan tunduk pada nash, serta
mendekatnya kepada alam pikiran.
Jadi
fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas
dalil-dalil Al-Qur’an , bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya.
Menurut Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits
adalah sebagai pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu
dan hadits.
Al-Asy’ari tidak dapat menjauhkan diri dari
pemakaian akal dan argmentasi pikiran. Ia menentang keras terhadap mereka yang
mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas
soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh Rasul adalah suatu
kesalahan. Menurut Al-Asy’ari, sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah nabi
wafat, banyak membiarakan soal-soal baru dan meskipun begitu, mereka tidak
disebut orang-orang sesat (bid’ah).
Didalam
bukunya berjudul “Istishan Al-Khaudhi Fi Ilmil Kalam” (kebaikan menyelami ilmu
kalam), ia menentang keras terhadap orang yang berkeberatan membela agama
dengan ilmu kalam dan argumentasi pikiran, karena hal ini tidak ada dasarnya
dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Bagi
kaum al-Asy’ari, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan
saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan
mengetahui kewajiban-kewajiban hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian,
sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan mengetahui
kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syari’at tidak ada,
kata al-Ghazali manusia tidak akan berkewajiban mengetahui
Tuhan, dan tidak akn berkewajiban berterima kasih kepadaNya. Sebagai kesimpulan
dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai
kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah.
Dengan
demikian, jelaslah Al-Asy’ari sebagai seorang muslim yang ikhlas membela
keperayaan dan mempercayai isi Al-Qur’an dan Hadits, dengan menempatkan sebagai
dasar pokok, disamping menggunakan akal pikiran yang tugasnya tidak lebih dari
pada memperkuat nash-nash tersebut.
0 Comments