PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ikatan di antara dua insan
yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga,
pergaulan, cara berfikir, pendidikan, dan hal-hal yang lain.
Islam memandang pernikahan adalah ikatan yang suci. Akad nikah dalam Islam berlangsung
sangat sederhana dengan kalimat “ijab” dan “kabul”. Dengan dua kalimat
sederhana itu yang haram menjadi halal, yang maksiat berubah bernilai ibadah. Akad
nikah begitu sangat sacral, sehingga Allah SWT menyebutnya dengan “Mistaqan
Ghaliza” atau perjanjian Allah SWT yang berat. Masih sangat banyak lagi
pengertian pernikahan yang disebutkan para ahli.
Pernikahan
dalam Islam adalah pernikahan yang seakidah. Artinya baik calon suami dan calon
istri hendaknya beragama Islam. Di zaman sekarang muncul
permasalahan-permasalahan kontemporer seperti mengenai dibolehkan atau tidak
pernikahan yang tidak seakidah. Jika diperbolehkan, maka di antara kedua calon
pengantin siapa hendaknya yang beraga Islam. Calon suami atau calon istri.
Pernikahan
beda agama merupakan suatu pernikahan campuran yang secara umum diartikan bahwa
antara seorang laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dari segi agama.
Jika pernikahan seperti memang dibolehkan, maka bagaimana Islam memandang
kebolehannya. Melihat pada Qs. Al-Baqarah/2: 221 bahwa seseorang dilarang
menikah dengan pasangan yang berbeda akidah. Selain pengharaman dalam al-Qur’an,
ada juga hadis tentang dilarangnya pernikahan beda agama, yaitu:
حدثنا
قتيبة حدثنا ليث عن نافع : أن ابن عمر كان إذا سئل عن نكاح النصرانية واليهودية
قال إن الله حرم المشركات على المؤمنين ولا أعلم من الإشراك شيئا أكبر من أن تقول
المرأة ربها عيسى وهو عبد من عباد الله
"Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Laits dari
Nafi' bahwa apabila Ibnu Umar ditanya tentang hukum menikahi wanita Nashrani
dan wanita Yahudi ia menjawab, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
wanita-wanita musyrik atas orang-orang yang beriman. Dan aku tidak mengetahui
adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita yang mengatakan
bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari hamba-hamba
Allah."
PERNIKAHAN BEDA AGAMA (Kajian Qs. Al-Baqarah/2:
221)
Pernikahan beda agama memang pernah terjadi
dalam sejarah Islam yang telah lalu. Pernikahan semacam itu memang pernah
terjadi. Pada masa Rasulullah SAW pun pernikahan beda agama pernah terjadi. Seorang
sahabat bernama Hudzaifah ibn al-Yaman menikahai seorang wanita Yahudi dari
al-Mada’in, Utsman ibn ‘Affan yang menikahi seorang Nasrani yang bernama Na’ilah
binti al-Farafishah al-Kalbiyah yang kemudian masuk Islam.
Pernikahan
beda agama dilarang dalam Islam. Hal ini termaktub dalam Qs. Al-Baqarah/2:221.
Allah SWT melarang melakukan pernikahan beda agama. Disebutkan dalam ayat
tersebut bahwa seorang budak yang mukmin jauh lebih baik daripada orang
musyrik.
Maksudnya, { وَلاَ تَنْكِحُوْا } “Dan janganlah kamu menikahi” wanita-wanita, { الْمُشْرِكَاتِ } “musyrik” selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, { حَتَّى يُؤْمِنَّ } “hingga mereka beriman”;
karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah
lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik
parasnya. Ini umum pada seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh
ayat dalam surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahli Kitab,
sebagaimana Allah berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلُُّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ
حِلُُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
وَمَن يَكْفُرْ بِاْلإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {5}
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di
hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)
{ وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنَّ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” Ini
bersifat umum yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah
menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita
mukmin menikah dengan selain agama mereka dalam firmanNya, { أُوْلئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ } “Mereka mengajak ke neraka”, yaitu,
dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi
mereka. Maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang bahaya,
dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi bahaya kesengsaraan
yang abadi.
Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat melarang
dari bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bid’ah; karena jika
menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu besar,
maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi,
khususnya pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik
tersebut atau semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau
semacamnya.
Dalam firmanNya, { وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. [ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ ] “Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan”,
maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan
yang di antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal
itu dengan cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal
shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan
mengamalkannya.
{ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ } “Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)” maksudnya, hukum-hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, { لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ } “kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Hal
tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka
lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan
apa yang telah mereka lalaikan.
DAMPAK
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Pernikahan adalah factor penting dalam kehidupan
manusia. Untuk itulah hendaknya pernikahan tersebut menjadi sebuah amalan yang
bernilai ibadah. Sebuah amalan yang miliki orientasi jelas. Pernikahan bukan
semata amalan duniawi saja. Namun lebih itu, pernikahan merupakan langkah
menuju perbaikan individu dan masyarakat.
Melalui
keluarga nilai-nilai agama diteruskan kepada anak, cucu, dan kepada yang
lainnya. Untuk itu peran keluarga sangat penting. Rasulullah SAW menegaskan
semua anak terlahir membawa potensi fitrah keberagamaan yang benar. Kedua orang
tuanya yang menjadikan ia menganut agama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Orang tua
juga dapat mengukuhkan fitrah keimanan tersebut sehingga tampak dalam kehidupan
sehari-hari. Fungsi ini akan berjalan sebagaimana mestinya bila terdapat
persamaan keyakinan antara suami dan istri. Untuk itu dalam hal ini Rasulullah
SAW mengingatkan kepada umatnya untuk memilih pasangan yang baik agamanya.
Permasalahan
pernikahan beda agama bukan hanya terletak pada sah atau tidaknya pernikahan
tersebut. Tetapi juga menyangkut masalah terhadap tanggungjawab seseorang yang
beragama atas keluarganya. Dalam praktiknya, tidak mudah sebuah pernikahan yang
berbeda keyakinan akan terasa nyaman.
Islam
mengakui bahwa dalam bermasyarakat terdapat toleransi. Sebab manusia di seluruh
alam ini memilik perberbedaan. Tetapi dalam hal bertoleransi, seorang Muslim
tidak harus kehilangan kepribadian dan identitas keIslamannya. Jangan sampai
terjatuh pada toleransi yang salah.
Selain dampak
yang telah disebutkan di atas. Dampak untuk akhirat pun ada. Seperti hubungan
pernikahan yang tidak sah, maka akan selamanya dihukumi sebagai zina. Pernikahan
beda agama akan berdampak banyaknya dosa. Jika pernikahan tidak sah, maka
dampak lain yang ditimbulkan adalah tentang hak-hak anak, seperti hak mendapat
warisan, atau bagi perempuan orang tuanya tidak bisa menjadi wali nikahnya.
PENUTUP
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang
memiliki orientasi jelas. Yang tujuannya adalah untuk beribadah kepada Allah
SWT. Maka jika pernikahan itu dilaksanakan dengan perbedaan keyakinan, bukan
pahala yang didapat tetapi malah dosa.
Tulisan
singkat hanya membahas dampak pernikahan beda agama dari segi agama. Untuk itu
tulisan ini masih sangat mungkin dikembangkan. Misalnya bagaimana status
pernikahan beda agama di mata undang-undang Negara dan bagaimana status anak
dari pernikahan berbeda agama. Apakah mendapatkan hak-hak sebagaimana
pernikahan yang seakidah dalam Islam.
Sebagai
solusi dari tulisan singkat ini, maka sudah sebaiknya dan seharusnya kita
sebagai Muslim sebagai pasangan yang seiman, seakidah, sejalan, seirama.
0 Comments