Biografi Rasyid Ridha (1865 M – 1935 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid ibn Ali Ridha ibn
Muhammad Syam al-Din al-Qalamuny. Dia dilahirkan pada 27 Jumadil Awal 1282 H
atau pada 8 Oktober 1865 M, di Desa Qalamun di Lebanon, 4 km dari kota Tripoli..
Dia adalah seorang bangsawan Arab yang punya garis keturunan langsung kepada
Sayyidina Husein ibn ‘Ali.
Di usia 7 tahun, Rasyid
Ridha dimasukkan orang tuanya ke madrasah tradisional taman pendidikan yang
disebut dengan al-Kuttab di Qalamun. Di sini lah dia belajar membaca
al-Qur’an, menulis, dan berhitung. Madrasah ini beraliran asy-‘ariyah.
Setelah menamatkan
pendidikannya di al-Kuttab, dia tidak langsung melanjutkan
pendidikannya. Dia belajar bersama orang tuanya dan ulama setempat. Setelah
berusia 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan belajarnya di madrasah al-Wathaniyat
al-Islamiyyah yang terletak di Tripoli, sekolah milik pemerintah Tripoli.
Di sini dia belajar nahwu, sharaf, aqidah, fikih, berhitung, ilmu bumi, dan
matematika. Pelajar disiapkan untuk bekerja di pemerintahan, karena enggan
menjadi pegawai pemerintah, Rasyid Ridha memutuskan keluar setelah belajar
selama satu setengah tahun.
Kemudian Rasyid Ridha
melanjutkan pendidikannya di sekolah yang tergolong modern. Sekolah yang
didirikan oleh Syaikh Hasan al-Jisr, seorang ulama besar Lebanon yang telah
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh.
Al-Jisr berpendapat bahwa umat Islam tidak akan maju jika tidak mempelajari
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara terpadu. Di tempat inilah Rasyid
Ridha mempelajari karya al-Ghazali dan Ibn Taimiyah yang kemudian mengilhami
gerakan reformasinya.
Orang yang paling
berpengaruh terhadap Rasyid Ridha adalah Muhammad ‘Abduh. Tulisan-tulisan
Muhammad ‘Abduh melalui majalah Urwat al-Wustha membuat dia mengenal dua
tokoh pembaharu, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh. Ide-ide kedua tokoh
ini membuatnya ingin bergabung dan berguru kepada dua tokoh ini. Keinginan
Rasyid Ridha untuk bertemu Jamaluddin al-Afghani tidak tercapai, karena
al-Afghani lebih dulu meninggal dunia.
Pengaruh Muhammad ‘Abduh semakin
kuat kepada Rasyid Ridha ketika Muhammad ‘Abduh kembali ke Beirut untuk
mengajar sambil menulis. Pertemuan keduanya terjadi di Tripoli ketika Rasyid
Ridha mengunjungi temannya yang bernama Syaikh ‘Abdullah al-Barakah pada 1885
M. Rasyid Ridha pun berdialog dan bertukar ide dengan Muhammad ‘Abduh.
Rasyid Ridha sempat
menerapkan ide pembaharuannya di kota kelahirannya, namun mendapat tantangan
dari penguasa setempat. Dia pun hijrah ke Mesir untuk mengikuti gurunya
Muhammad ‘Abduh. Sejak saat itu Rasyid Ridha menjadi murid yang paling dekat
dan paling setia kepada Muhammad ‘Abduh. Rasyid Ridha mengungkapkan
keinginannya kepada sang guru untuk menerbitkan majalah yang akan menyalurkan
ide-ide pembaharuan mereka. Sebulan setelah itu, Rasyid Ridha mengemukakan
keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang mengolah masalah-masalah
sosial, budaya, dan agama.
Pada awalnya Muhammad
‘Abduh menolak untuk menulis tafsir yang berkaitan dengan hal yang telah
disebutkan di atas. Kemudian Rasyid Ridha mengusulkan agar Muhammad ‘Abduh
mengajar tafsir. Melalui kuliah tafsir yang diberikan Muhammad ‘Abduh, Rasyid
Ridha mencatat segala ide-ide pemabaharuan yang muncul dan disusun secara
sistematis yang kemudian diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa. Setelah
mendapatkan pengesahan, barulah tulisan ini diterbitkan dalam majalah al-Manar.
Kumpulan tulisan yang
termuat di majalah al-Manar inilah yang kemudian menjadi tafsir al-Manar.
Pertama kali terbit pada 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M berupa
majalah mingguan, selanjutnya menjadi bulanan sampai akhir 1935 M. Kuliah
tafsir yang diberikan Muhammad ‘Abduh hanya sampai pada surat al-Nisa ayat 125.
Hal tersebut dikarenakan Muhammad ‘Abduh telah meninggal dunia pada 1905 M.
maka untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir
tersebut. Rasyid Ridha meninggal dunia pada 2 Agustus 1935 M.
Karya-Karya Rasyid Ridha
Dengan
perjuangannya yang luar biasa dalam memompa ide-ide pembaharuan, Rasyid Ridha
sangat disegani oleh umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah karya
ilmiah yang menyertai gagasan-gagasannya, antara lain sebagai berikut :
1.
Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa
Al-Rifa’iyah
Buku ini
adalah karya pertamanya di waktu ia masih belajar, isinya tentang bantahan
kepada Abdul Hadyi Ash-Shayyad yang mengecilkan tokoh sufi besar Abdul Qadir
Al-Jailani, juga menjelaskan kekeliruankekeliruan yang dilakukan oleh para
penganut tasawuf, tentang busana muslim, sikap meniru non-muslim, Imam Mahdi,
masalah dakwah dan kekeramatan.
2. Al-Azhar dan Al-Manar. Berisikan antara lain,
sejarah Al-Azhar, perkembangan dan missinya, serta bantahan terhadap ulama
Al-Azhar yang menentang pendapat-pendapatnya.
3.
Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, berisikan riwayat hidup Muhammad Abduh dan perkembangan
masyarakat Mesir pada masanya.
4. Nida’ li Al-Jins Al-Lathif, berisikan uraian tentang hak dan kewajibankewajiban
wanita.
5. Zikra Al-Maulid An-Nabawi.
6. Al-Sunnah wa Al-Syi’ah.
7. Al-Wahdah Al-Islamiyah.
8. Haqiqah Al-Riba.
9. Majalah Al-Manar.
10.
Tafsir Al-Manar.
Pemikiran Rasyid Ridha
Menurutnya pembaharuan mutlak harus dilakukan, karena
tanpa itu umat Islam akan terus dalam keadaan jumud. Sama seperti tokoh
lainnya, Rasyid Ridha juga melihat kemunduran karena umat Islam tidak memegang
dan menjalankan ajaran Islam yang sebenarnya. Pembaharuan yang dilakukan Rasyid
Ridha bisa dibagi ke dalam beberapa bidang, yaitu:
A.
Pembaharuan Bidang Keagamaan
Pemikirannya di bidang keagamaan bisa dikatakan sama
seperti Muhammad ‘Abduh, yaitu umat Islam mengalami kemunduruan dikarenakan
tidak menganut ajaran Islam sebenarnya. Banyaknya perilaku bid’ah, khurafat,
takhayul, jumud, serta taklid dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam.
Oleh karena itu pemahaman yang seperti itu menurutnya harus dikikis dan
disingkirkan.
Rasyid Ridha banyak menyoroti masalah akidah. Umumnya
umat Islam mempunyai pengalaman agama yang taklid. Umat Islam pada masa ini
lebih memilih hokum yang sudah baku saat itu dan dianggap sebagai kebenaran
mutlak. Dengan demikian jika didapati pemahaman baru, mereka menganggap tidak
sesuai dengan paham mereka.
Kecendrungan taklid ini juga bisa menimbulkan sikap
saling menyalahkan terhadap kelompok yang berbeda. Hingga tidak jarang kita
temukan sampai terjadi pertentangan dan permusuhan. Keanekaragaman paham ini
semakin memunculkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Rasyid Ridha mengatakan umat Islam yang murni itu
sederhana sekali, sesederhana dalam ibadah dan muamalat. Ibadah kelihatannya
ruwet karena dalam ibadah ditambah hal-hal yang bukan wajib. Sedangkan
muamalat, dasar-dasaryang diberikan seperti keadilan, persamaan, pemerintahan
syura. Hokum-hukum fikih mengenai kemasyarakatan sungguh pun berdasar pada
al-Qur’an dan Hadis tidak boleh dianggap absolute. Hukum-hukum itu timbul karena
perubahan situasi dan zaman. Rasyid Ridha juga menganjurkan untuk bertoleransi
terhadap perbedaan mazhab. Dia menganjurkan pembaharuan dalam bidang hokum dan
penyatuan terhadap mazhab.
B.
Pembaharuan Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan peradaban di Barat menurut Rasyid Ridha muncul karena kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Rasyid Ridha sangat mendukung program gurunya Muhammad ‘Abduh untuk memasukkan ilmu-ilmu umum ke
dalam lembaga pendidikan milik umat Islam. Hal itu karena menurutnya ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk itu tidak
mengapa belajar ilmu-ilmu modern asalkan dimanfaatkan dalam hal kebaikan.
Selain memasukkan
ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan Islam, Rasyid Ridha juga mendirikan
lembaga pendidikan yang diberi nama al-Dakwah wa al-Irsyad pada 1912 M
di Kairo, Mesir. Sebelumnya dia mendirikan di Konstantinopel, akan tetapi tidak mendapat dukungan
dari pemerintah setempat.
Latar belakang pendirian
madrasah ini ialah karena adanya keluhan-keluhan yang disampaikan melalui pesan
surat dari negeri-ngeri Islam akan adanya misionaris. Selain itu banyaknya
orang-orang Islam memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Kristen karena
di sini diajakarkan pelajaran umum dan teknologi modern. Untuk mengimbangi hal
inilah pendirian Madrasah dipandang perlu untuk meluaskan misi Islam.
Dengan berdirinya sekolah al-Dakwah
wa al-Irsyad diharapkan para lulusan dari sekolah akan dikirim ke Negara
mana saja yang memerlukan bantuan tenaga pengajaran dan pendudukan.
C.
Pembaharuan Bidang Politik dan Sosial Kemasyarakatan
Negara yang dianjurkan oleh Rasyid Ridha adalah Negara
dalam bentuk kekhalifahan. Sebab dia ingin menghidupkan kembali sistem
kekhalifahan di zaman modern, karena menurutnya bentuk pemerintahan seperti
akan menyatukan umat Islam. Kepala Negara adalah khalifah, tetapi tidak
berisfat absolute. Para ulama merupakan merupakan pembantu-pembantu yang utama
dalam soal memerintah umat.
Untuk mewujudkan bentuk
Negara yang seperti ini awalnya meletakkan harapan pada kerjaan Utsmani. Akan
tetapi harapa itu sirna ketika Mustafa Kemal Pasha Attaturk berkuasa di
Instanbul yang kemudian mengganti system khilafah menjadi republik.
Syarat untuk menjadi
khalifah menurut Rasyid Ridha bukan hanya terdiri dari ulama saja. Tetapi juga
dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai bidang, seperti pertanian,
perdagangan, perindustrian, dan sebagainya. Syarat bagi calon khalifah harus
berilmu dan mampu berijtihad.
Syarat berilmu untuk
menjadi seorang khalifah maksudnya mengusai pengetahuan agama dan bahasa Arab,
sehingga mampu memahami maksud-maksud al-Qur’an dan hadis, serta preseden para salaf al-shalih dan juga mampu untuk
berijtihad. Untuk mempersiapkan khalifah yang memenuhi syarat, Rasyid Ridha
mengusulkan pendirian suatu lembaga pendidikan tinggi keagamaan untuk mendidik
dan mencetak calon-calon khalifah.
Dalam lembaga ini
diajarkan berbagai ilmu pengetahuan agama Islam, sejarah, ilmu kemasyarakatan,
dan ilmu agama lainnya. Setelah itu khalifah dipilih di antara para lulusan
dari lembaga tersebut. Pemilihan itu dilakukan secara bebas oleh rekan-rekan
sesama lulusan. Kemudian barulah dikukuhkan melalu baiat oleh ahl ah-halli wa al-aqli (orang yang
berhak memilih khalifah/ para ahli ilmu khususnya keagamaan dan mengerti
permasalahan umat) dari seluruh dunia Islam.
D.
Pandangan Rasyid Ridha Tentang Nasionalisme
Tentang Nasionalisme, Rasyid
Ridha tidak sepakat dengan model Nasionalisme yang diterapkan Mustafa Kemal.
Ridha tidak sepakat jika persaudaraan dalam Islam dibedakan berdasar bahasa,
tanah air, dan bangsa. Ridha lebih sepakat dengan ide Ibn Khaldun yaitu tentang
solidaritas (ashabiyyah). Ibn Khaldun
menekankan tiga aspek, yaitu 1) Ashabiyyah
fi al-Din (solidaritas agama), 2) Ashabiyyah
fi al-Qabilah (solidaritas kesukuan), 3) Ashabiyyah fi al-Jinsiyah (solidaritas sebangsa).
0 Comments