2.
Pembaharuan Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari
sebab-sebab kemajuan umat Islam di zaman klasik dan juga merupakan salah satu
dari sebab-sebab kemajuan Barat sekarang ini. Muhammad ‘
Abduh mengatakan, untuk mencapai kemajuannya yang hilang, umat Islam
sekarang haruslah kembali mempelajari dan mementingkan soal ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, umat Islam harus terlebih dahulu dibebaskan dari faham jumud,
taklid, kembali lagi berijtihad dan kembali kepada Islam yang murni.
Selain keagamaan dan ilmu
pengetahuan, Muhammad ‘Abduh juga menaruh perhatian terhadap
pembaharuan dalam bidang pendidikan. Islam sangat mendorong umatnya untuk lebih
memerhatikan bidang pendidikan.
Muhammad ‘Abduh
menganjurkan umat Islam untuk mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan,
serta umat Islam juga harus mementingkan soal pendidikan. Ia selalu mendorong
umat Islam di Mesir agar mementingkan soal pendidikan sebagai jalan memperoleh
kemajuan. Muhammad Abduh ingin sekali memperbaiki metode pendidikan di Mesir,
sebab semasa kecilnya Muhammad Abduh kurang puas dengan cara belajar yang
diterapkan oleh gurunya. Ketika itu metode yang dipakai yaitu metode menghafal
luar kepala. Sebabnya ketika itu para pengajar hanya menyuruh murid didiknya
untuk membaca dan menghafal nash
(teks) di luar kepala, ditambah lagi para pengajar tidak memberikan penjelasan
dan maksud dari nash (teks) tersebut.
Sehingga banyak murid yang sudah belajar lama namun tidak mengetahui apa yang
ia pelajari, termasuk Muhammad ‘Abduh.
Muhammad ‘Abduh
menginginkan dibukanya sekolah modern. Dia mulai menerapkannya di al-Azhar. Ilmu
filsafat dan logika yang sebelumnya tidak ada, mulai diajarkan. Dia berharap
ilmu-ilmu ini dipelajari begitu juga ilmu-ilmu umum. Dari sini diharapkan para
lulusan al-Azhar dapat menjadi agen pembaharu Islam bagi negaranya masing-masing.
Sebelumnya, pembaharuan pendidikan Mesir
diawali oleh Muhammad Ali. Dia hanya menekankan pada perkembangan aspek
intelektual dan mewariskan dua tipe pendidikan pada masa berikutnya. Model
pertama ialah sekolah-sekolah modern, sedangkan model kedua
adalah sekolah agama. Masing-masing sekolah berdiri sendiri, tanpa mempunyai hubungan satu sama lain. Pada sekolah agama
tidak diberikan
pelajaran ilmu-ilmu modern yang berasal dari Barat sehingga perkembangan intelektual berkurang. Sedangkan pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya diberikan ilmu pengetahuan Barat, tanpa memberikan ilmu agama Pada periode ini pula terdapat dualisme pendidikan yang
memunculkan
dua kelas sosial berbeda. Pertama adalah sekolah yang menghasilkan ulama dan tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan mempertahankan tradisi. Kedua adalah sekolah yang menghasilkan kelas elit. Generasi muda yang dimulai pada abad 19, dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh, membuat mereka dapat menerima ide-ide Barat. Abduh melihat segi negatif dari dua model pendidikan tersebut sehingga mendorongnya untuk mengadakan perbaikan pada dua instansi tersebut. Dalam konteks modernisasi yang dilakukan
Muhammad ‘Abduh bidang pendidikan Islam meliputi:
a.
Tujuan Pendidikan
Pokok pikirannya tentang
tujuan institusional pendidikan didasarkannya kepada tujuan pendirian sekolah.
Ia membagi jenjang pendidikan kepada tiga tingkatan, yaitu (a) Tingkat Dasar (mubtadi’în), (b)
Tingkat Menengah (thabaqât al-wustha), dan (c) Tingkat Tinggi (thabaqât
al-‘Ulyâ).
Pada
pendidikan tingkat dasar, tujuan institusionalnya adalah
pemberantasan buta huruf, sehingga murid mampu membaca teks yang tersurat dan
dapat berkomunikasi melalui tulisan. Mereka juga diharapkan bisa berhitung
sehingga dapat menunjang kegiatan sehari-hari mereka sebagai petani, pedagang,
pengusaha, pegawai maupun sebagai guru dan pemimpin. Di samping anak bisa
menulis, membaca dan berhitung diharapkan agar setelah anak didik menyelesaikan
studinya di sekolah tingkat dasar juga sudah mempunyai dasar-dasar ilmu
pengetahuan
agama yang kuat dan dapat pula mengamalkan pokok-pokok ajaran agama,
sesuai dengan kemampuan intelektualnya.
Pendidikan tingkat menengah bertujuan untuk mendidik anak agar kelak mereka dapat bekerja sebagai pegawai pemerintah, baik sipil maupun militer. Mereka diharapkan oleh negara untuk menjadi orang-orang yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Misalnya tentara, mereka dipersiapkan untuk menjadi prajurit yang tangguh yang memanggul senjata dan dengan gagah berani menghadapi musuh. Untuk hakim, mereka dipersiapkan dapat menyelesaikan kasus-kasus pertikaian yang terjadi dalam masyarakat dan menghukumnya secara adil berdasarkan undang-undang, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Lulusan tingkat menengah ini diharapkan dapat mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan umum di samping kepentingan mereka sendiri serta berusaha untuk mewujudkan masyarakat sejahtera.
Adapun
tujuan pendidikan tingkat tinggi adalah untuk mencetak tenaga guru dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berkualitas. Mereka yang telah berhasil menyelesaikan studinya di sekolah tingkat tinggi ini diharapkan dapat menjadi guru untuk seluruh jenjang pendidikan.
Menurut
Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Ridha, 1931: 17). Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Dengan tujuan tersebut, ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang yakni tidak hanya menekankan pengembangan akal tetapi juga pengembangan spiritual. Abduh berkeyakinan bahwa apabila aspek akal dan spiritual dididik dan dicerdaskan dengan cara agama maka umat Islam akan dapat bersaing dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta dapat mengimbangi mereka dengan kebudayaan yang tinggi
b.
Kurikulum Pendidikan
Kurikulum yang dirumuskan
Abduh meliputi; (a) untuk tingkat sekolah dasar; membaca, menulis, berhitung dan pelajaran agama dengan materi aqidah, fiqih, akhlaq dan sejarah Islam; (b) untuk tingkat menengah; manthiq dan dasar penalaran, aqidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil yang pasti, fiqih dan akhlaq serta sejarah Islam; (c) untuk tingkat atas; tafsir, hadis, bahasa
Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi serta ilmu kalam.
c.
Metode Pengajaran
Muhammad
‘Abduh menekan pemberian pengertian dan pemahaman dalam setiap pelajaran. Dia
mengingatkan kepada pendidik untuk tidak mengajar dengan metode hafalan karena
akan merusak daya nalar. Dia juga menekankan metode diskusi. Metode ini
diharapkan dapat memupuk keberanian murid untuk mengemukakan pendapat dan
membantah pendapat orang lain.
d.
Pendidikan Bagi Perempuan
Pendidikan harus diikuti
oleh semua orang, laki-laki dan perempuan. Perempuan juga harus mendapat hak
yang sama di bidang pendidikan. Gagasan pendidikan bagi perempuan dimulai oleh
Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1073) agar perempuan Mesir mendapat pendidikan yang
sama dengan laki-laki.
Tujuannya
adalah agar perempuan dapat menjadi istri yang baik, menjadi teman bagi suami
di lingkungan yang intelek. Perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi, namun
adat istiadat di luar Islam membuat kedudukan perempuan menjadi rendah.
Pendidikan
bagi perempuan diperlukan bukan hanya untuk mengatur rumah tangga, tapi lebih
dari itu adalah untuk mendidik bagi anak-anak. Karena madrasah pertama bagi
anak-anak adalah di rumah.
3.
Pembaharuan Bidang Politik dan Sosial Kemasyarakatan
Muhammad
‘Abduh beranggapan bahwa Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika
bentuk khalifah masih tetap menjadi model pemerintahan, model ini pun
diharapkan dapat mengikuti perkembangan zaman. Muhammad ‘Abduh menginginkan
pemerintahan yang dinamis.
Dalam pengangkatan kepala negara yang memiliki hak adalah rakyat. Rakyat
adalah pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Kepala negara bukanlah wakil Tuhan di
bumi sebagaimana pemahaman klasik yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau
khalifah adalah mandat dari Allah. Menurut Muhammad ‘Abduh khalifah adalah
seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan penurunannya adalah hak
masyarakat.
Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh mentaati pemimpin yang berbuat
maksiat, apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan
Hadis, maka masyarakat harus menggantinya dengan yang lain. Pada saat itu
Muhammad ‘Abduh berusaha membangkitkan kesadaran rakyat Mesir. Menurutnya jika
pemerintah itu adil, mensejahterakan rakyat, maka rakyat akan patuh dengan
peraturan-peraturan dan juga setia.
Dengan kekuasaan politik, Muhammad ‘Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip
ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak, yaitu umat Islam.
Kekuasaan ada di tangan rakyat.
***
0 Comments