ilmu-ushuluddin.blogspot.com - Sungguh telah ada suri tauladan yang baik dalam diri Nabi Muhammad saw, salah satunya adalah sikap optimis. Walau sulit, namun beliau tetap optimistis. Inilah tauladan yang melekat pada diri Rasulullah. Nilai ini pula yang beliau tanamkan kepada para sahabat dan umatnya.
Sikap optimistis memang sangat dibutuhkan. Sebab, hidup di dunia hanya mengenal dua keadaan, yaitu susah dan senang. Keduanya silih berganti mengisi hari-hari kita dalam hidup ini. Dua keadaan ini akan menjadi batu ujian bagi setiap manusia. Lulus atau tidak, bergantung pada bagaimana menyikapinya.
Dalam kondisi senang, optimistis bukanlah sesuatu yang berat. Namun, dalam situasi sulit, terkadang tidak mudah menghadirkannya. Sebab, yang selalu terbayang adalah hal-hal yang buruk. Padahal, untuk bisa lulus dan bangkit dari keterpurukan, modalnya adalah optimistis.
Itulah sebabnya Rasulullah begitu gigih dalam menanamkan nilai yang satu ini. Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, "Tidak ada perasaan buruk dan kesialan, dan yang lebih baik dari itu adalah rasa optimistis." Maka ditanyakanlah kepada beliau, "Apa yang dimaksud dengan rasa optimistis?" Beliau bersabda, "Yaitu kalimat baik yang sering didengar oleh salah seorang dari kalian." (HR Ahmad).
Beberapa peristiwa dalam sejarah menunjukkan sikap optimistis Rasulullah SAW yang tidak pernah redup. Kala berdakwah di Makkah, penolakan dan ancaman adalah menu yang selalu beliau cicipi setiap hari. Namun, beliau tetap melangkah. Hingga akhirnya beliau memilih untuk pergi ke Thaif dan menyebarkan dakwah Islam di sana.
Namun, apa yang terjadi? Penolakan penduduk Kota Thaif tak jauh berbeda dengan warga Makkah. Di situlah tampak jelas betapa tinggi optimisme beliau. Saat dua malaikat menawarkan menimpakan dua gunung besar kepada penduduk Thaif, kalimat indah meluncur dari lisan beliau, "Jangan, semoga lahir dari keturunan mereka yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya." (HR Bukhari).
Sikap optimistis adalah warisan berharga para nabi. Hampir setiap nabi pernah berhadapan dengan situasi yang sangat sulit. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang menunjukkan sikap pesimistis, apalagi sampai meninggalkan tugas yang mereka emban. Mereka tetap melangkah dengan penuh keyakinan Allah akan membantu.
Kisah Nabi Musa salah satu contohnya. Saat berada dalam kejaran Firaun, setelah berlari cukup jauh, ia dan umatnya harus berhadapan dengan lautan yang luas. Rasa cemas menggelayuti umatnya. Bahkan, ada yang mengatakan, "Sungguh Firaun pasti akan mendapati kita." (QS as-Syu'ara: 61). Namun, dengan penuh optimisme, "Musa mengatakan, sekali-kali tidak, sesungguhnya Tuhanku bersamaku yang akan memberikan petunjuk kepadaku." (QS as-Syu'ara: 62).
Optimistis adalah ajaran ilahi. Sumber dan asal usulnya adalah berbaik sangka kepada Allah, kepada takdir dan ketentuan-Nya. Ibnu Hajar al-Asqolani berkata, "Sesungguhnya Rasulullah menyukai optimisme karena pesimisme adalah buruk sangka kepada Allah dan optimisme adalah berbaik sangka kepada-Nya." (Fathul Bari).
Tumbuhnya sikap optimistis berkaitan erat dengan keimanan, terutama iman kepada takdir, yaitu mengimani bahwa setiap ketetapan Allah selalu mengandung hikmah dan kebaikan. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita sikap optimistis. Amin
Oleh: Ahmad Rifai
Sumber: Republkika
0 Comments