CARA AL-QUR’ĀN MEMBEBASKAN PEREMPUAN
BERSAMA
ASMA BARLAS
Gusti Rahmat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan
Argumen kesetaraan antara kedudukan
laki-laki dan perempuan menjadi sangat penting untuk diperbincangkan. Kaum
feminis berupaya mensejajarkan kedudukan keduanya. Perbedaan perlakuan terhadap
perempuan dalam kondisi sosial menjadi alasan penting bagi kaum feminis untuk
bisa mensejajarkan kedudukan mereka bersama laki-laki.
Asma Barlas, Profesor dari Ithaca College
salah seorang yang memiliki argumen persamaan jender antara laki-laki dan
perempuan.
Dia juga tertarik dalam bidang politik seksual/ tekstual Muslim,
khususnya, hubungan antara interpretasi
patriarkal kitab suci Islam-yang digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap
perempuan.
Dalam
tulisan ini, penulis ingin menyandingkan pendapat Asma Barlas bersama mufasir
klasik al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kathir al-Dimasyqi atau yang lebih
dikenal dengan Ibn Kathir dalam memandang persamaan status sosial antara
laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’ān.
Penafsiran
ini menjadi penting karena banyak perempuan merasa haknya dalam status sosial
dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Tulisan ini bertujuan memperlihatkan
kepada semua manusia bahwa tidak ada perbedaan hak-kewajiban antara laki-laki
dan perempuan dalam al-Qur’ān, baik dalam publik maupun tidak.
Biografi Asma Barlas
Mengajar adalah pekerjaan terakhir dari
karir yang dimulai pada tahun 1976. Ketika dia bergabung di Departemen Pakistan
Luar Negeri sebagai diplomat, dia dipecat atas perintah diktator militer negara
itu, Jenderal Zia ul-Haq. Dia dipecat karena berani mengkritiknya. Sebelum
berangkat ke Amerika Serikat, dia bekerja sebagai asisten editor di sebuah surat
kabar oposisi berpengaruh Muslim. Selama di Pakistan, dia juga menerbitkan
puisi dan cerita pendek sebagai penulis lepas.
Dia memiliki sebuah gelar B.A. di Sastra Inggris dan
Filsafat , MA dalam Jurnalisme (dari Pakistan), dan Ph.D. International Studies
(dari AS).
Di Ithaca College, dia bekerja di departemen Politik, tapi
saat ini dia juga direktur CSCRE (keduanya unit yang terpisah). Selain itu dia
juga menjabat Ketua Spinoza dalam bidang Filsafat di Universitas Amsterdam
(2008).
Banyak beasiswanya tentang ideologi, epistemologi, dan
praktik kekerasan. Dalam mendapatkan gelar Ph.D. disertasinya menelusuri
silsilah militerisme Pakistan untuk politik-ekonomi pemerintahan kolonial
Inggris di India (kemudian diterbitkan sebagai Demokrasi, Nasionalisme dan Komunalisme:
The Colonial Legacy di Asia Selatan , 1995).
Setelah dia mulai mengajar, dia tertarik dalam bidang
politik seksual/ tekstual Muslim, khususnya, hubungan antara interpretasi patriarkal kitab
suci Islam-yang digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap perempuan dan
metode yang digunakan untuk menafsirkannya (subjek "Percaya
Perempuan" dalam Islam: Interpretasi Unreading patriarki Al-Qur'ān, 2002).
Ketertarikan utamanya ada pada hermeneutika al-Qur’ān dan kondisi perempuan Muslim, dalam beberapa tahun
terakhir dia juga menulis tentang kekerasan epistemik Barat terhadap Islam (Islam,
Muslim dan Amerika Serikat, 2004, dan Re-pemahaman Islam, 2008), sifat
polysemic tentang "Ibrahim tradisi, dominan narasi AS sekitar tanggal 11
Desember 2001, dan helai tertentu (Islam) feminisme dan sekularisme (2013).
Esainya yang terakhir, tentang Islam untuk Oxford Handbook of Theology,
Seksualitas, dan Gender (akan terbit, 2015) .
Dia merasa beruntung bahwa pekerjaan saya di al-Qur'ān telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa (Arab,
Bengali, Indonesia, Spanyol, Portugis, Perancis, Belanda, dan Urdu), dan dia
memiliki kesempatan untuk berbicara tentang hal itu di luar AS dengan baik
(Indonesia, Mesir, Pakistan, Spanyol, Portugal, Kanada, Jerman, Finlandia,
Islandia, Italia, Inggris, dan Belanda).
Pendekatan Kesetaraan Gender Asma
Barlas
Al-qur’ān memperlakukan perbedaan
secara egaliter dan unik, banyak ulama yang memasukkan pertentangan biner ke
dalam pembacaan mereka atasnya, baik dengan alasan bahwa al-Qur’ān memperlakukan
laki-laki dan perempuan berbeda dalam beberapa kasus maupun berdasarkan
rujukan-rujukan simbolis yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’ān surat al-Lail/92:
1-4:
demi malam apabila
menutupi (cahaya siang),
dan siang apabila
terang benderang,
dan penciptaan
laki-laki dan perempuan,
Sesungguhnya usaha
kamu memang berbeda-beda. (QS.
Al-Lail/92: 1-4).
Menurut Angelika
Neuwirth, struktur semantik dan pokok pembicaraan dalam sumpah tersebut
melambangkan pertentangan biner antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya
keduanya membentuk pasangan kontras pertama. Neuwirth tidak mengklaim bahwa
al-Qur’ān mengistimewakan laki-laki dalam sumpah itu.
Al-Qur’ān tidak
mengistimewakan siang atas malam, terang atas gelap, atau laki-laki atas
perempuan. Al-Qur’ān hanya mengistimewakan kebajikan di atas kejahatan.
Al-Qur’ān tidak menetapkan orang celaka dan orang bertakwa berdasarkan jenis
kelamin.
Hierarki manusia
merupakan konsep penting dalam Injil. Misalnya, “Sebab laki-laki tidak berasal
dari perempuan, tapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak
diciptakan karena perempuan, tapi perempuan diciptakan karena laki-laki.”
Karenanya perempuan
menjadi sebagai pelengkap bagi laki-laki. Hal inilah yang menurut kaum feminis
membuat perempuan menjadi “diri lain” dalam tradisi Kristen. Padahal laki-laki
dan perempuan bersumber dari diri yang satu dan diciptakan pada saat yang
bersamaan. Al-Qur’ān tidak mengenal “diri lain”, baik secara nyata maupun
simbolis.
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri (nafs), dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. Al-Nisā’/4: 1)
Menurut Rahman
(1980) yang dikutip Asma Barlas, kata nafs merujuk pada diri atau orang.
Bukan pada jiwa seperti yang ditafsirkan ulama terdahulu yang terpengaruh
budaya Yunani. Al-Qur’ān tidak mendukung dualisme jenis kelamin-jender, karena
kosa kata seperti nafs dan zawj menegaskan keserupaan buka
perbedaan.
Menurut al-Qur’ān,
alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis kelamin ini adalah bahwa keduanya
diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling mencintai dan menghargai
satu sama lain.
Selanjutnya, al-Qur’ān
tidak memperlakukan perempuan sebagai derivasi laki-laki, maka al-Qur’ān pun
tidak menyalahkan perempuan atas dosa warisan atau kejatuhan manusia ke bumi.
Islam tidak mengajarkan dosa warisan.
Islam tidak mengadopsi kerenggangan antara Tuhan dan
manusia, karena Islam tidak mengedepankan gagasan kejatuhan manusia. Tuhan dan
manusia tidak saling berjauhan. Dikeluarkannya manusia yang berpasangan itu
dari surga membuka kemungkinan bagi semua manusia untuk menerima
ketidakterbatasan rahmat Tuhan dan untuk memperoleh keselematan abadi melalui
praksis moral mereka sendiri.
Para penafsir Muslim - mungkin karena tidak merasa puas
dengan ketiadaan rincian tentang kejadian manusia tersebut telah mengadopsi
seluruh kisah Alkitab untuk menegaskan peran Hawa dalam kejatuhan manusia.
Pandangan semacam ini kemudian berperan membentuk gambaran
perempuan sebagai pendosa dan makhluk lemah serta melegitimasi penyubordinasian
mereka pada laki-laki. Tradisi Kristen yang membuat klaim tersebut atau
menegaskan “rendahnya moralitas perempuan” atau menolak “kapasitas penuh
pertanggungjawaban moral mereka”, yang kemudian dijadikan rujukan kaum Muslim,
ternyata justru mengandung kecacatan.
Pemisahan nilai moral dari nilai sosial seperti yang
dilakukan umat Islam ketika mereka meperlakukan perempuan secara setara dalam
wilayah moral sembari mendeskreditkan mereka dalam wilayah sosial dan hukum,
tentu saja bertentangan bukan saja dengan perspektif tauhid, tapi juga dengan
al-Qur’ān.
Pandangan Islam mengenai masyarakat bermoral adalah konsep
bahwa manusia menurut fitrahnya adalah bermoral. Tugas manusia adalah mengabdi
kepada Allah dan menggunakan ilmu dan kekuasaannya untuk kebaikan sesuai dengan
petunjuk Tuhan.
Ketaqwaan yang mendefinisikan hakikat personalitas moral
dengan cara mengarahkan diri kita pada Tuhan terletak pada keinginan kita untuk
mengikuti kebajikan dan menolak kejahatan dengan menggunakan akal, kecerdasan,
dan pengetahuan kita.
Al-Qur’ān tidak pernah satu kali pun menyatakan bahwa
laki-laki, baik dalam segi kapasitas biologisnya sebagai laki-laki atau dalam
kapasitas sosialnya sebagai ayah, suami, atau penafsir kitab suci, lebih mampu
daripada perempuan dalam mencapai tingkat ketakwaan atau melaksanakan ajaran
agama.
Al-Qur’ān mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki
memiliki kemampuan yang sama untuk mencapai derajat takwa, seperti yang
dinyatakan dalam sejumlah ayat.
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab/33: 35)
Jadi al-Qur’ān tidak membedakan perilaku moral
dan sosial antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’ān justru menerapkan standar
yang sama terhadap mereka, dan menetapkan hukum atas mereka berdasarkan
kriteria yang sama. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan inilah yang menjadi
inti ajaran al-Qur’ān tentang personalitas moral dan keimanan.
Analisis Perbandingan dengan Tafsir Klasik Ibn Kathīr
al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kathir al-Dimasyqi yang
lebih dikenal dengan Ibn Kathīr lahir pada tahun 701 H. Seorang ulama besar kelahiran
dari kota Bashra negeri Syam yang kemudian pindah ke Damaskus.
Di kotan
Damaskus ini dia menimba banyak pelajaran. Di antara guru-gurunya adalah Syaikh
Burhanuddin Ibrahīm al-Fazari, Isa bin Muṭ’im, al-Dhahabī, dan Syaik Ibnu Taimiyah.
Dalam QS. Al-Nisa/4:1,
“dan darinya Allah menciptakan istrinya.” Siti Hawa diciptakan oleh
Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam as ketika dia sedang
tidur. Saat Adam terbangun, dia kaget setelah melihatnya. Kemudian dia langsung
jatuh cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa pun jatuh cinta kepada
Adam as.
“Dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan. (QS.
Al-Nisā/4: 1). Allah mengembangbiakan banyak laki-laki dan perempuan dari Adam
dan Hawa, kemudian menyebarkan mereka ke seluruh dunia dengan berbagai macam
jenis, sifat, warna kulit, dan bahasa mereka.
“Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. (QS. Al-Nisā/4:
1). Maksudnya bertakwalah kalian kepada Allah dengan taat kepadanya.
“Yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain.” (QS.
Al-Nisā/4: 1). Menurut Aḍ-Ḍahak, makna ayat adalah ‘bertakwalah kalian kepada Allah
yang kalian telah berjanji dan berikrar dengan menyebut nama-Nya.’ Bertakwalah
dalam silaturahmi.
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kalian.” (QS. Al-Nisā/4: 1). Dia mengawasi semua
keadaan, seperti yang terkandung dalam surah al-Mujadalah: 6, “Allah Maha
menyaksikan segala sesuatu.”
Allah swt
menyebutkan bahwa asal mula makhluk itu dari seorang ayah dan seorang ibu.
Makna yang dimaksud ialah agar sebagian dari mereka saling mengasihi dengan
sebagian yang lain. Dan menganjurkan kepada mereka agar menyantuni orang-orang
yang lemah dari mereka.
Jauh sebelum
Asma Barlas, Ibn Kathīr telah menyebutkan tidak ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Ibn Kathīr menegaskan agar manusia (laki-laki dan perempuan)
untuk saling mengasihi, menyayangi, dan juga mencintai. Bukan melemahkan
sebagian yang lain (perempuan).
Jadi
sebenarnya perbedaan status sosial atau dalam ranah publik tidak ada perbedaan
sama sekali antara laki-laki dan perempuan. Yang membuat dia nampak berbeda
dikarenakan pelaku yang tidak memahami persamaan itu. Perbedaan hanya pada
struktur biologis.//
Baca post kami yang lainnya DI SINI
0 Comments