MEMAHAMI MAKNA PERNIKAHAN ANTARA MUSLIM DAN NON-MUSLIM


MEMAHAMI MAKNA PERNIKAHAN ANTARA BEDA AGAMA


PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ikatan di antara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir, pendidikan, dan hal-hal yang lain.[1] Islam memandang pernikahan adalah ikatan yang suci. Akad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana dengan kalimat “ijab” dan “kabul”. Dengan dua kalimat sederhana itu yang haram menjadi halal, yang maksiat berubah bernilai ibadah. Akad nikah begitu sangat sacral, sehingga Allah SWT menyebutnya dengan “Mistaqan Ghaliza” atau perjanjian Allah SWT yang berat. Masih sangat banyak lagi pengertian pernikahan yang disebutkan para ahli.[2]

Pernikahan dalam Islam adalah pernikahan yang seakidah. Artinya baik calon suami dan calon istri hendaknya beragama Islam. Di zaman sekarang muncul permasalahan-permasalahan kontemporer seperti mengenai dibolehkan atau tidak pernikahan yang tidak seakidah. Jika diperbolehkan, maka di antara kedua calon pengantin siapa hendaknya yang beraga Islam. Calon suami atau calon istri.

Pernikahan beda agama merupakan suatu pernikahan campuran yang secara umum diartikan bahwa antara seorang laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dari segi agama.[3] Jika pernikahan seperti memang dibolehkan, maka bagaimana Islam memandang kebolehannya. Melihat pada Qs. Al-Baqarah/2: 221 bahwa seseorang dilarang menikah dengan pasangan yang berbeda akidah. Selain pengharaman dalam al-Qur’an, ada juga hadis tentang dilarangnya pernikahan beda agama, yaitu:
حدثنا قتيبة حدثنا ليث عن نافع : أن ابن عمر كان إذا سئل عن نكاح النصرانية واليهودية قال إن الله حرم المشركات على المؤمنين ولا أعلم من الإشراك شيئا أكبر من أن تقول المرأة ربها عيسى وهو عبد من عباد الله

"Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Laits dari Nafi' bahwa apabila Ibnu Umar ditanya tentang hukum menikahi wanita Nashrani dan wanita Yahudi ia menjawab, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik atas orang-orang yang beriman. Dan aku tidak mengetahui adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari hamba-hamba Allah."[4]

PERNIKAHAN BEDA AGAMA (Kajian Qs. Al-Baqarah/2: 221)
Pernikahan beda agama memang pernah terjadi dalam sejarah Islam yang telah lalu. Pernikahan semacam itu memang pernah terjadi. Pada masa Rasulullah SAW pun pernikahan beda agama pernah terjadi. Seorang sahabat bernama Hudzaifah ibn al-Yaman menikahai seorang wanita Yahudi dari al-Mada’in, Utsman ibn ‘Affan yang menikahi seorang Nasrani yang bernama Na’ilah binti al-Farafishah al-Kalbiyah yang kemudian masuk Islam.[5]

Pernikahan beda agama dilarang dalam Islam. Hal ini termaktub dalam Qs. Al-Baqarah/2:221. Allah SWT melarang melakukan pernikahan beda agama. Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa seorang budak yang mukmin jauh lebih baik daripada orang musyrik.

Maksudnya, { وَلاَ تَنْكِحُوْا } “Dan janganlah kamu menikahi” wanita-wanita, { الْمُشْرِكَاتِ } “musyrik” selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, { حَتَّى يُؤْمِنَّ } “hingga mereka beriman”; karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Ini umum pada seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلُُّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِاْلإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {5}

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)

{ وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنَّ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” Ini bersifat umum yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan selain agama mereka dalam firmanNya, { أُوْلئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ } “Mereka mengajak ke neraka”, yaitu, dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi mereka. Maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi bahaya kesengsaraan yang abadi.

Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat melarang dari bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bid’ah; karena jika menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu besar, maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi, khususnya pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik tersebut atau semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau semacamnya.

Dalam firmanNya, { وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. [ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ ] “Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan”, maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya.

{ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ } “Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)” maksudnya, hukum-hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, { لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ } “kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Hal tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan apa yang telah mereka lalaikan.

DAMPAK PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Pernikahan adalah factor penting dalam kehidupan manusia. Untuk itulah hendaknya pernikahan tersebut menjadi sebuah amalan yang bernilai ibadah. Sebuah amalan yang miliki orientasi jelas. Pernikahan bukan semata amalan duniawi saja. Namun lebih itu, pernikahan merupakan langkah menuju perbaikan individu dan masyarakat.

Melalui keluarga nilai-nilai agama diteruskan kepada anak, cucu, dan kepada yang lainnya. Untuk itu peran keluarga sangat penting. Rasulullah SAW menegaskan semua anak terlahir membawa potensi fitrah keberagamaan yang benar. Kedua orang tuanya yang menjadikan ia menganut agama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.[6]

Orang tua juga dapat mengukuhkan fitrah keimanan tersebut sehingga tampak dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi ini akan berjalan sebagaimana mestinya bila terdapat persamaan keyakinan antara suami dan istri. Untuk itu dalam hal ini Rasulullah SAW mengingatkan kepada umatnya untuk memilih pasangan yang baik agamanya.

Permasalahan pernikahan beda agama bukan hanya terletak pada sah atau tidaknya pernikahan tersebut. Tetapi juga menyangkut masalah terhadap tanggungjawab seseorang yang beragama atas keluarganya. Dalam praktiknya, tidak mudah sebuah pernikahan yang berbeda keyakinan akan terasa nyaman.

Islam mengakui bahwa dalam bermasyarakat terdapat toleransi. Sebab manusia di seluruh alam ini memilik perberbedaan. Tetapi dalam hal bertoleransi, seorang Muslim tidak harus kehilangan kepribadian dan identitas keIslamannya. Jangan sampai terjatuh pada toleransi yang salah.

Selain dampak yang telah disebutkan di atas. Dampak untuk akhirat pun ada. Seperti hubungan pernikahan yang tidak sah, maka akan selamanya dihukumi sebagai zina. Pernikahan beda agama akan berdampak banyaknya dosa. Jika pernikahan tidak sah, maka dampak lain yang ditimbulkan adalah tentang hak-hak anak, seperti hak mendapat warisan, atau bagi perempuan orang tuanya tidak bisa menjadi wali nikahnya.

PENUTUP
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang memiliki orientasi jelas. Yang tujuannya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Maka jika pernikahan itu dilaksanakan dengan perbedaan keyakinan, bukan pahala yang didapat tetapi malah dosa.

            Tulisan singkat hanya membahas dampak pernikahan beda agama dari segi agama. Untuk itu tulisan ini masih sangat mungkin dikembangkan. Misalnya bagaimana status pernikahan beda agama di mata undang-undang Negara dan bagaimana status anak dari pernikahan berbeda agama. Apakah mendapatkan hak-hak sebagaimana pernikahan yang seakidah dalam Islam.

            Sebagai solusi dari tulisan singkat ini, maka sudah sebaiknya dan seharusnya kita sebagai Muslim sebagai pasangan yang seiman, seakidah, sejalan, seirama.


[1] Lilis Rohaeti, Wanita Siapkah Menjadi Tiang Negara??? (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 86.
[2] Lilis Rohaeti, Wanita Siapkah, h. 87-89.
[3] Dede Rihana, Pernikahan Beda Agama Perspektif al-Qur’an, KAjian Sosio-Historis terhadap Qs. Al-Mumtahanah/60: 10 (Skripsi: UIN Jakarta, 2017), h. 35.
[4] Al-Imam Abi Abdillah  Muhammad bin  Isma’il al-Bukhari al-Ju’fi,  Shahih al-Bukhari, ed.Mahmud Muhammad Nassar (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.2009) 993.
[5] Dede Rihana, Pernikahan Beda, h. 37.
[6] Dede Rihana, Pernikahan Beda, h. 57.

SumberLain: https://ilmuislam2011.wordpress.com/2012/02/11/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-221-menikahi-wanita-musyrik/

Post a Comment

0 Comments