Fatima Mernissi, Tokoh Feminisme


Fatima Mernissi, Tokoh Feminisme

Fatima  Mernissi Dia lahir di fez, kota abad ke 9 maroko pada 1940 yang terletak sekitar 5000 KM sebelag bara mekah dan 1000 KM sebelah timur madrid. Dia di lahirkan ditengah-tengah harem dimana harem2 disana dikelilingi oleh tembok-tembok yang tinggi dan hanya bisa melihat langit dari taman.[1] Untuk melihat pemikirannya KLIK DI SINI


Lahir pada tahun 1940 di Fez, Marokko.  Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu  dan nenek-neneknya  serta saudara perempuan   lainnya.  Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar  perempuan-perempuan  itu tidak keluar. Harem itu  juga  dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya, Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah  sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada  ibunya. Ayahnya hanya punya satu isteri dan tidak  berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi seorang  penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap tidak bisa baca tulis karena waktunya dihabiskan  di harem. [2].

Mernissi kecil ini lebih  menerima  keindahan  agama  lewat nenek  Yasmina,  yang  telah membukanya  menuju pintu agama yang puitis. Neneknya  yang menderita  insomnia  selalu bercerita  tentang  perjalanan hajinya.  Dan dengan semangat  selalu bercerita tentang dua  kota, Mekkah dan Madinah. Kota yang selalu diburunya adalah kota  Madinah sehingga kota yang lain seperti  Arafah  dan Mina  sering  ia lewatkan hanya karena  ingin  cepat-cepat menceritakan kota Madinah. Hal ini sangat berpengaruh pada Mernissi kecil. Madinah kemudian menjadi kota impian  yang diobsesikannya[3].

Sikap  ini  melekat pada  Mernissi  selama  bertahun-tahun.  Menurut  Mernissi, al-Qur’ān  sebagai  kitab  suci agama  Islam sangat tergantung pada  bagaimana  perspektif dan resepsi (penerimaan) kita terhadapnya. Ayat-ayat  suci ini  bisa menjadi gerbang  untuk melarikan diri atau  bisa juga menjadi hambatan yang tidak bisa diatasi.  al-Qur’ān, kata  Mernissi, bisa menjadi pembawa kita ke  dalam  mimpi atau malah pelemah semangat belaka.

Sedangkan Ibu Mernissi selalu mengajarkan kepada Mernissi kecil bagaimana  bisa bertindak dan bertahan sebagai  perempuan: "Kamu harus belajar untuk berteriak dan protes, sebagaimana  kamu belajar untuk berjalan dan berbicara," kata  sang Ibu pada Mernissi. Dari  sang  ibu juga ia  mendapatkan  cerita  tentang bagaimana  agar perempuan bertindak cerdik dan  bijaksana. Ibunya  sering menceritakan kisah-kisah dalam Seribu  Satu Malam.  Cerita ini mengisahkan seorang sultan yang  sangat menggemari dongeng. Dikisahkan, Sultan Nebukadnedzar suatu ketika memergoki permaisurinya berzina dengan pengawalnya.Sang Sultan marah lalu membunuh keduanya.Sejak itu Sultan membenci perempuan. Hal ini membuatnya mempunyai kebiasaan buruk, yakni menikahi perempuan di malam hari, dan  keesokan  harinya  si isteri tersebut harus  dipancung.  Begitu terus  terjadi setiap hari. Tak terbilang banyaknya  gadis yang  mati karena itu. Kebiasaan ini  berhasil  dihentikan oleh  seorang  gadis  bernama  Shahrazad,  dengan  memikat sultan lewat cerita-ceritanya, sehingga sang sultan selalu mengurungkan niatnya untuk memancung gadis itu.



[1] Fatima mernissi, teras terlarang: kisah masa kecil seorang feminis mulsim, (bandung; mizan, 1999) cet. I. Terj; Ahmad Baiquni. h. 1
[2] Nurul agustina, melacak akar pemberontak fatima Mernissi, dalam dreams of trespas,tales of harem girlhood, (bandung: mizan 1997) terj. Ahmad baiquni h. 69.
[3] Fatima Mernissi, women and islam an historical and theological enquiry, (bandung: pustaka 1991), terj, yaziar radianti h. 79-81.

Post a Comment

0 Comments