SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW

 SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW

 

PENDAHULUAN

Nabi Muhammad saw lahir di kota Makkah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal bertepatan dengan 20 April 571 M. Tahun kelahiran beliau dikenal dengan tahun Gajah. Hal itu dikarenakan pasukan Abrahah dengan menaiki gajah ingin menyerbu kota Makkah al-Mukarramah untuk menghancurkan Ka’bah.Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab.[1]

Pada waktu lahir Nabi Muhammad saw dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah meninggal dunia ketika masih dalam kandungan. Nabi Muhammad saw diserahkan kepada ibu asuhnya yang bernama Halimah Sa’diyah. Bersamanya Nabi Muhammad saw diasuhnya selama empat tahun. Setelah lebih kurang dua tahun berada dalam asuhan ibu kandungnya, ketika berusia enam tahun, ibunya pun meninggal dunia dan Nabi Muhammad saw menjadi yatim piatu. Kemudian Nabi Muhammad saw berada dalam asuhan Abdul Muthalib. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, dia juga sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan.[2]

Ada dua jenis pekerjaan yang dilakukan Nabi Muhammad saw sebelum menjadi Rasul. Pertama, mengembala kambing ketika ia bersama ibu susuannya Halimah Sa’diyah tinggal di desa. Kedua, berdagang ketika ia tinggal bersama pamannya, ia mengikuti pemannya berdagang ke negeri Syam, sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.[3]

Menjelang usia 40 tahun, Nabi Muhammad saw mengasingkan diri ke Gua Hira’ untuk berkhalwat. Istrinya Khadijah memberi dukungan penuh kepada Nabi Muhammad saw. Khadijah selalu menyiapkan bekal untuk dibawa Nabi Muhammad saw ke Gua Hira’. Pada usia 40 tahun, pada tanggal 17 Ramadhan 611 M, malaikat Jibril mendatanginya  menyampaikan wahyu Allah yang pertama surat al-Alaq (ayat 1-5). Berarti secara simbolis Nabi Muhammad saw telah dilantik sebagai Nabi akhir zaman.[4]

  

PERIODE MAKKAH

A.    Dakwah secara sembunyi-sembunyi

Pada periode Makkah, tiga tahun pertama dakwah Nabi Muhammad saw dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dakwah yang pertama kali Nabi Muhammad saw lakukan adalah di lingkungan keluarga yang mula-mula kepada istri beliau, Khadijah ra, lalu kepada Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr, kemduai Zaid bekas budak beliau. Di samping itu ada juga orang-orang yang masuk Islam dengan perantara Abu Bakr, di antaranya adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwan, a’ad bin Abi Waqqash, Abdur Rahman bin ‘Auf, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarhah, dan Al-Arqam bin Abil Arqam, yang rumahnya dijadikan markas untuk
berdakwah (rumah Arqam).[5]

          Selanjutnya Nabi Muhammad saw juga berdakwah kepada keluarga yang lain, yaitu kepada rumpun Bani Abdul Muthalib diajak untuk masuk Islam. Dakwah kepada keluarga ini ditolak dan ditentang keras oleh pamannya sendiri yaitu Abu Lahab. Sekalipun banyak yang menentang, tetapi ada juga yang memberikan perlindungan kepada nabi Muhammad saw sebagaimana kehidupan orang Arab yang berkelompok.[6]

B.    Dakwah Secara Terang-Terangan

Langkah dakwah selanjutnya menyeru kepada masyarakat secara umum. Dakwah secara terang-terangan ini dilakukan Nabi Muhammad saw setelah turunnya wahyu al-Qur’an surah al-Hijr/15: 94, yaitu:

فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ 

Artinya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. [Qs. Al-Hijr/15: 94]

          Nabi Muhammad saw menyeru kepada bangsawan dan seluruh masyarakat Quraisy. Pada awalnya Nabi Muhammad saw berdakwah secara terang-terangan kepada masyarakat Makkah dan dilanjutkan pada penduduk di luar Makkah. Nabi Muhammad saw dengan gencar berdakwah mengajak masyarakat agar masuk Islam.[7] Dengan usaha nabi yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut nabi mulai bertambah dari hari ke hari. Mereka terutama terdiri dari perempuan, budak, pekerja, dan orang miskin.

          Setelah dakwah yang dilakukan nabi semakin hari semakin bertambah pengikutnya, pemimpin Quraisy mulai gusar dan menghalangi dakwah Rasulullah saw tersebut. Mereka menentang dengan keras. Menurut Ahmad Syalabi terdapat lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang dakwah Islam, yaitu:

1.  Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan hari pembalasan di akhirat.

2. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka berpandangan bahwa tunduk pada seruan Nabi Muhammad saw berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib.

3.  Takut kehilangan mata pencaharian sebagai pemahat dan penjual patung berhala.

4.  Nabi Muhammad saw menyerukan persamaan antara hamba dan bangsawan.

5.  Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan bangsa Arab.

Kaum kafir Quraisy menghalangi dan menentang dakwah Nabi Muhammad saw dengan bertahap. Pertama, membujuk. Nabi Muhammad saw berada dalam perlindungan Abu Thalib yang amat disegani. Mereka memberikan kepada Abu Thalib dua pilihan, yaitu memerintahkan kepadanya agar Nabi Muhammad saw berhenti berdakwah atau menyerahkan Nabi Muhammad saw kepada mereka untuk dibunuh. Nabi Muhammad saw menolak untuk berhenti berdakwah sekalipun dikucilkan dari keluarga.[8]

Kaum Quraisy gagal membuat Nabi Muhammad saw berhenti berdakwah. Kemudian mereka mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid. Pemuda yang gagah dan tampan untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad saw. Namun cara ini pun langsung ditolak oleh Abu Thalib.

Cara selanjutnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy yaitu dengan membujuk langsung Nabi Muhammad saw dengan wanita, harta, dan jabatan agar nabi berhenti meneruskan dakwahnya. Cara ini pun ditolak dengan tegas oleh Nabi Muhammad saw dengan mengatakan “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini sehingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”­­­­­[9]

Kedua, mengintimidasi. Setelah sebelumnya gagal dengan cara membujuk, kaum kafir Quraisy melakukan tindakan yang lebih keras dan intensif dari sebelumnya kepada umat Islam. Budak-budak yang masuk Islam disiksa dengan sangat kejam. Para pemimpin quraisy menyuruh menyiksa budak yang mereka miliki hingga ia keluar dari Islam.[10]

Ketiga, memboikot seluruh keluarga Bani Hasyim. Pemimpin Quraisy melakukan pemboikotan terhadap umat Islam untuk melumpuhkan kekuatan kaum muslimin. Karena mereka berangapakan bahwa kekuatan nabi terletak pada kekuatan keluarganya yang melindunginya, baik yang belum atau pun yang sudah masuk Islam. Kafir Quraisy memutuskan segala hubungan dengan suku ini.[11]

Seluruh penduduk Makkah tidak diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Akibatnya banyak dari keluarga Bani Hasyim menderita. Tindakan pemboikotan ini dimulai pada tahun ke-7 dari kenabian hingga tahun ke-10 menjelang Abu Thalib dan Khadijah meninggal, hal itu berlangsung selama 3 tahun.[12]

ARTI HIJRAH

Kata hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti meninggalkan suatu perbuatan atau menjauhkan diri dari pergaulan atau berpisah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Adapun menurut syariat, hijrah ada tiga macam, yaitu:[13]

1.    Hijrah dari meninggalkan semua perbuatan yang dilarang oleh Allah. Hijrah ini adalah wajib dikerjakan oleh setiap orang yang mengaku beragama Islam.

2.    Hijrah mengasingkan dari pergaulan dengan orang-orang musyrik atau orang-orang kafir yang memfitnah orang-orang yang memeluk Islam.

3.    Hijrah berpindah dari negeri atau daerah orang-orang kafir musyrik ke negeri atau daerah orang-orang Muslim. Seperti hijrah Nabi Muhammad saw.

PERIODE MADINAH

Situasi di kota Madinah sangat menggembirakan. Madinah juga dihuni oleh beberapa suku berbeda. Madinah adalah perkampungan yang diributkan oleh dua suku besar, yaitu Aus dan Khazraj. Permusuhan yang berkepanjangan mengancam rakyat kecil dan mendukung timbulnya permasalahan eksistensi.[14]

          Penduduk Yatsrib -nama semula Madinah- sebelum Islam terdiri dari dua suku bangsa yaitu Arab dan Yahudi yang keduanya saling bermusuhan. Karena kegiatan dagang di Yatsrib dikuasai oleh orang Yahudi. Ketika permusuhan antara Arab dan Yahudi semakin meruncing, kaum Yahudi melakukan siasat memecah belah dengan melakukan intrik dan menyebarkan permusuhan dan kebencian di antara suku Auz dan Khazraj. Siasat ini berhasil dengan baik bahkan siasat itu mendorong suku Khazraj bersekutu dengan Bani Qainuqah (Yahudi). Sedangkan suku Aus bersekutu dengan Bani Quraizah dan Bani Nadir. Klimaks dari permusuhan dua suku tersebut adalah perang Bu’as pada tahun 618 M seusai perang baik kaum aus maupun khazraj menyadari, akibat dari permusuhan mereka, sehingga mereka berdamai.[15]

          Peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah merupakan perintah Allah swt dengan tujuan agar penyebaran Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw berkembang lebih pesat lagi. Selama 13 tahun dakwah nabi di kota Makkah banyak mengalami pertentangan dan permusuhan. Namun di Madinah penduduknya lebih mudah menerima dakwah Nabi Muhammad saw. Masyarakat Madinah menerima dan menyambut kedatangan Nabi Muhammad saw dengan suka cita. Islam lebih cepat berkembang di Madinah.

Nabi Muhammad saw ketika hijrah ke Madinah ditemani sahabatnya yaitu Abu Bakr. Mereka berdua singgah di Gua Tsur, arah selatan kota Makkah untuk menghindari perjalanan orang kafir Quraisy. Mereka bersembunyi di sana selama 3 malam. Barulah pada malam ketiga mereka keluar dan melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib.[16]

Setelah tujuh hari dalam perjanalan Nabi Muhammad saw dan Abu Bakr sampai di Quba. Ketika tiba di Quba, Nabi Muhammad saw beritirahat beberapa hari di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi Muhammad saw membangun sebuah masjid pertama yang dikenal dengan Masjid Quba.[17]

Pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awal atau 24 September 622 M, Nabi Muhammad saw meninggalkan kota Quba. Di tengah perjalanan di perkampungan Bani Salim, Nabi Muhammad saw melaksanakan shalat Jum’at pertama dalam sejarah Islam. Setelah shalat Jum’at, perjalanan dilanjutkan kembali menuju Yatsrib dan disambut oleh Bani Najjar.[18]

Begitu Rasulullah tiba di kota Yatsrib ini beliau melepaskan tali kekang untanya dan membiarkannya berjalan sekehendaknya. Unta itu berhenti di sebidang kebun korma milik dua anak yatim bernama Sahl dan Suhail yang diasuh oleh Abu Ayyub. Kebun itu dijal dan di atasnya dibangun masjid atas perintah Rasulullah. Sejak itu nama kota Yatsrib ditukar  menjadi “Madinatun Nabi”, tetapi dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut “Madinah”saja.[19]

Dengan kekuasaan di tangan Nabi Muhammad saw Islam pun lebih mudah disebarkan. Untuk memperkokoh masyarakat dan negara baru, maka Nabi Muhammad saw segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Adapun dasar-dasar tersebut adalah:

A.        Mendirikan Masjid Nabawi

Nabi Muhammad Saw, mendirikan masjid sebagai tempat peribadatan dan pertemuan yang diberi nama masjid “Nabawi”. Kegunaan masjid ini selain tempat untuk melaksanakan shalat, juga sebagai sarana mempersatukan kaum Muslimin, dan tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada masa Nabi bahkan berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dalam pembangunan masjid ini nabi ikut serta, bahkan mengangkat dan memindahkan batu-batu dengan tangannya sendiri. Saat itu, masjid dihadapkan ke Baitul Maqdis. Tiang masjid terbuat dari batang kurma, sedangkan atapnya dibuat dari pelepah daun kurma. Adapun kamar-kamar istri nabi dibuat disamping masjid. Tatkala pembangunan selesai, nabi memasuki pernikahan dengan Aisyah pada bulan syawal. Sejak saat itulah, Yatsrib dikenal dengan Madinatur Rasul atau Madinah al-Munawwarah.[20]

B.        Mempersaudarakan Anhsar dan Muhajirin

Nabi mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam. Dengan demikian diharapkan, setiap Muslim merasa terikat dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan mereka berdasarkan agama untuk menggantikan persaudaraan berdasarkan darah atau kabilah.

Dengan demikian tidak ada jurang pemisah antara golongan yang kaya dengan yang miskin, maupun golongan yang kuat dengan yang lemah. Sehingga jumlah dan kekuatan umat Islam semakin hari semakin bertambah besar dan kuat. Tidak mudah untuk dikalahkan oleh suku dari golongan manapun juga. Persaudaraan ini tampak nyata dan dibuktikan dalam kehidupan mereka seperti orang yang kaya atau mempunyai harta berlebih maka ia memberikan kepada yang membutuhkan. Bagi yang beristri lebih dari satu, dua, tiga, dan seterusnya, mereka memberikan kepada yang membutuhkan. Di sinilah letak gotong royong yang sangat kuat antara mereka. Hal ini selaras dengan bunyi ayat Al-Qur'an yang artinya: bergotong-royonglah kalian dalam perbuatan baik dan taqwa. Dan janganlah kalian bergotong-royong dalam keburukan dan dosa.[21]

C.        Piagam Madinah

Di Madinah, di samping terdapat orang-orang Arab Islam, juga ada golongan masyarakat Yahudi (Bani Nadzir, Bani Quraidzah, Bani Qainuqa’) dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad saw mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan.

Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar. Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw menjadi kepala pemerintah karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepadanya. Dalam bidang sosial, Nabi Muhammad saw juga meletakkan dasar persamaan antara sesama manusia. Perjanjian ini dalam pandangan ketatanegaraan sekarang sering disebut dengan Konstitusi Madinah (Piagam Madinah).[22]

Dasar-dasar kenegaraan yang terdapat dalam piagam tersebut adalah sebagi berikut. Pertama, umat Islam merupakan satu komunitas (umat) meskipun berasal dari suku beragam. Kedua, hubungan antar sesama anggota komunitas Islam dengan komunitas lain dibangun atas dasar prinsip-prinsip: (a) bertetangga baik. (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. (c) membela mereka yang dianiaya. (d) saling menasehati dan (e) menghormati beragam.[23]

Secara garis besar, Piagam Madinah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian: Pertama, perjanjian Nabi Muhammad saw dengan pihak Yahudi dan kedua, perjanjian Nabi dengan Muhajirin dan Anshar. Piagam Madinah telah menjadi dasar persatuan penduduk Yatsrib yang terdiri dari pihak Muhajirin, Anshar, dan Yahudi. Ketiganya sepakat menjadikan madinah sebagai kota peradaban Islam saat itu yang terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan menyangkut hubungan bilateral antara mereka.[24]

Sebuah simpulan yang dapat diambil, bahwa Muhammad saw adalah Nabi akhir yang telah mengimplementasikan prinsip kebebasan agama dan toleransi beragam Akhirnya Piagam Madinah merupakan fakta sejarah atas realisasi kebebasan berpikir dan kebebasan agama serta toleransi beragama dalam Islam.

D.        Peletakan Asas Politik, Ekonomi, dan Sosial

Hal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Yatsrib adalah sebagai berikut: Pertama, mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah dengan untuk membentuk masyarakat yang tertib. Kedua, membangun masjid sebagai tempat ibadah, sarana mempersatukan umat dan membahas masalah-masalah yang dihadapi. Ketiga, membentuk persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Keempat, membentuk persahabatan dengan pihak-pihak lain yang non-Islam. Kelima, membentuk pasukan tentara untuk mengantisipasi gangguan yang dilakukan oleh musuh.[25]

Menurut Nurkholis Madjid sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriyadi bahwa, agenda politik kerasulan telah diletakannya yakni dengan bertindak sebagai utusan Allah, kepala negara, komandan tentara, dan pemimpin masyarakat. Semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw di kota hijrah itu merupakan refleksi dari ide yang terkandung dalam perkataan Arab Madinah, yang secara etimilogis berarti tempat peradaban. Di kota inilah Nabi Muhammad saw membangun peradaban manusia yang luar biasa.[26] Selanjutnya urusan politik di Madinah banyak diatur dalam Piagam Madinah sebagaimana pembahasan yang telah disebutkan di atas.

KESIMPULAN

Demikian pembahasan tentang sejarah peradaban masa Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul di kota Makkah. Berdakwah secara sembunyi-sembunyi dan mendapatkan banyak tantangan dari kafir Quraisy. Lalu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk hijrah ke Yatsrib. Di kota ini Nabi Muhammad saw membangun peradaban masyarakat yang luar biasa.          Beberapa hal yang Nabi Muhammad saw lakukan di kota Madinah adalah sebagai berikut:

1.    Membangun masjid Nabawi selain sebagai tempat ibadah, masjid ini digunakan untuk hal-hal lain juga, seperti mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi.

2.    Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.

3.    Membuat konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah. 

DAFTAR PUSTAKA

Chalil, KH. Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, jilid I. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Nasution, H. Syamruddin. Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Riau: Asa Riau, 2017.

Saufi, Akhmad, dan Hasmi Fadillah. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Deepublish, 2012.

Sewang, H. Anwar. Sejarah Peradaban Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Parepare, Sulawesi Selatan, 2017.

Sodikin, Ahmad. “Kemajuan Peradaban Islam Awal Masa Nabi Muhammad saw,” Jurnal Mahasantri, volume 1, No. 1 (September 2020).

Sulaiman, Ruysdi. “Muhammad saw dan Peradaban Umat (Analisis Ketokohan dan Kepemimpinan Rasulullah),” Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan, volume 1, No. 1 (2017).

Ya’kub, M, dkk. Sejarah Peradaban Islam Pendekatan Periodesasi. Medan: Perdana Publishing, 2015.

Yamin, Muhammad. “Peradaban Islam Pada Masa Nabi Muhammad saw,” Jurnal Ihya al-‘Arabiyah (2017).



[1] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam Pendekatan Periodesasi (Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 12.

[2] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban, h. 12.

[3] H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan Peradaban Islam (Riau: Asa Riau, 2017), h.32.

[4] H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h.36.

[5] H. Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam, (Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Parepare, Sulawesi Selatan, 2017), h. 86-87.

[6] Akhmad Saufi dan Hasmi Fadillah, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2012), h. 7.

[7] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban, h. 15.

[8]  H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 39.

[9]  H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 40.

[10] H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 41

[11] H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 41.

[12] H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 41.

[13] KH. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, jilid I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 419-420.

[14] Muhammad Yamin, “Peradaban Islam Pada Masa Nabi Muhammad saw,” Jurnal Ihya al-‘Arabiyah (2017), h. 114.

[15]  Muhammad Yamin, “Peradaban Islam,” h. 114.

[16]  H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 46.

[17]  H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 46.

[18]  H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 46-47.

[19]  H. Syamruddin Nasution, Sejarah Perkembangan, h. 47.

[20]  Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban Islam Awal Masa Nabi Muhammad saw,” Jurnal Mahasantri, volume 1, No. 1 (September 2020): h. 143.

[21]  Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 144.

[22]  Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 145.

[23] Ruysdi Sulaiman, “Muhammad saw dan Peradaban Umat (Analisis Ketokohan dan Kepemimpinan Rasulullah),” Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan, volume 1, No. 1 (2017): h. 9.

[24]  Ruysdi Sulaiman, “Muhammad saw, h. 10.

[25]  Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 146.

[26]  Ahmad Sodikin, “Kemajuan Peradaban, h. 146.

Post a Comment

0 Comments