Biografi dan Pendekatan dalam Menafsirkan Imam al-Ghazali


Biografi dan Pendekatan dalam Menafsirkan Imam al-Ghazali

ILMU-USHULUDDIN - Syaikh Muhammad al-Ghazālī lahir di Bahirah (Mesir), tepatnya di Nakla al-ʽInāb, pada tahun 1917 M. Syaikh Muhammad al-Ghazālī merupakan anak pertama dari enam bersaudara, ayahnya seorang pedagang yang menyukai tradisi tasawuf dan beliau sangat mengagumi sufi besar beraliran tasawuf sunni, yaitu Abu Hamid Muhammad al-Ghazālī, penulis kitab tasawuf yang monumental Iyā’ Ulūm al-Dīn. Konon suatu saat ayahnya mendapatkan inspirasi dan isyarat dari Imam al-Ghazālī supaya mencantumkan nama al-Ghazālī sebagai nama putranya. Beliau wafat  ketika menghadiri seminar tentang Islam dan Barat pada sabtu 9 Syawal 1416, bertepatan 6 Maret 1996, Syaikh Muhammad al-Ghazālī mendadak terkena serangan jantung kronis di Riyadh Saudi Arabia dan dimakamkan di Madinah, diantara Imam Malik dan Imam Nafi’ (ahli hadis) dan hanya beberapa meter saja dari makam Rasulullah Saw.[1]


Dalam buku al-Qur’an Kitab Zaman Kita karangan Muhammad al-Ghazālī, ia menjelaskan tentang macam-macam metode dalam memahami Al-Qur'an, di mana dalam hal ini Muhammad al-Ghazālī membaginya ke dalam metode klasik dan metode modern. Menurutnya, metode modern timbul akibat dari adanya kelemahan pada metode klasik, seperti, metode tafsir bil ma’tsur yang pernah digunakan oleh Ibn Jarīr at-abari yang mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadist dhaif, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah tafsir al-Qur’an dengan pemikiran Qur’ani, tampak belum begitu terlihat. Metode tafsir Inilah yang kemudian mendapat kritikan dari al-Ghazālī.[2] Ia berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar, bisa salah. Penulis mengakui adanya manfaat atau fungsi atas sumbangan pemikiran keagamaan bila menggunakan metode yang tepat, dan menolak suatu riwayat jika memang hal itu jauh dari kebenaran. Karena itulah ia menyarankan untuk membangun kebudayaan atau kajian Qur’ani baru, seperti yang telah dilakukan oleh al-‘Aqqad yang telah mengumpulkan ayat-ayat sebagai dasar pemikiran rasional dan dikumpulkannya dalam sebuah karyanya, At-tafkîr Farîdhah Islamiyah.[3]

Selain itu, Muhammad al-Ghazālī juga terinspirasi dengan Syaikh Muhammad ‘Abdullah Darros yang menafsirkan surah al-Baqarah yang termasuk surah terpanjang di dalam al-Qur’an, ia menggunakan metode tafsir mawdhū’I dalam tafsirnya Naba’ al-‘Aīm yang merupakan tafsir maudhui pertama yang menafsirkan satu surat secara lengkap.[4]

Aplikasi Pendekatan yang Digunakan oleh Muhammad al-Ghazālī
Metode tematik yang digunakan oleh Muhammad al-Ghazālī adalah metode tematik berbasis surah. Adapun pengertian metode tematik surah adalah penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur`an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.[5]

Di dalam kitab Nahw Tafsīr Maudhū’i li Suwar al-Qur‘ān al-Karīm, Muhammad al-Ghazālī mengelompokkan tema yang terdapat dalam surat, kemudian dikerucutkan dalam tema besar yang dibahas dalam setiap surat tersebut. Setiap surat mempunyai satu pesan, sehingga dalam setiap surat tersebut terdapat satu kesatuan maksud dan tujuan. Metodenya ini dapat terlihat saat dia menafsirkan surat an-Nisa’ misalnya, di mana tema besar dari surat an-Nisa’ ini  adalah tentang hubungan social manusia dalam bermasyarakat. Dari sini kita dapat melihat bahwa hubungan social manusia dalam bermasyarakat dapat dimulai dari lingkup yang paling kecil, yaitu keluarga. Karena itu, dari tema besar ini lahirlah tema-tema kecil  tentang persoalan keluarga, meliputi, hak-hak anak yatim, pernikahan dan poligami, serta masalah warisan.[6]

Sekilas mengenai surah al-adīd, al-adīd yang artinya besi merupakan surat yang ke-57 diantara surat-surat dalam al-Qur’an, terdiri dari 29 ayat, dan termasuk dalam surat-surat madaniyyah. Surah ini dirutunkan sesuadah Surah al-Zalzalah. Nama al-adīd terdapat pada ayat ke-25 dalam surat ini. Di antara isinya adalah beberapa sifat Allah dan nama-nama Allah yang indah serta pernyataan kekuasaan Allah di langit dan di bumi, perintah menafkahkan harta, keadaan orang-orang munafik di hari kiamat, hakikat kehidupan di dunia dan di akhirat, tujuan penciptaan besi, tujuan diutusnya para Rasul, kehidupan kerahiban dalam agama Nasrani bukan berasal dari Nabi Isa as.,celaan kepada orang-orang bakhil dan orang yang menyuruh orang lain berbuat bakhil.[7]
Berikut ayat yang mengenai tujuan penciptaan besi, surah al-adīd/57: 25;

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”

Term al-adīd
Al-adīd bentuk jamaknya adāid yang berarti معدن يستعمل فى البناء وصنع الأدوات, القطعة منه (حديد) (Logam yang digunakan dalam  alat konstruksi bangunan dan pembuatan peralatan, potongan besi).[8]
Pada surah al-adīd/57: 25 ini, Muhammad al-Ghazālī menafsirkan dengan memaparkan pernyataan kemudian disusul dengan pertanyaan-pertanyaan, berikut tafsirannya;
“Allah telah menciptakan besi yang memiliki kekhususan besar dalam industri perang dan kemenangan bagi umat muslim, apakah selaku umat muslim telah mempelajari karakteristik dan manfaat dalam kegiatan sipil dan militer? Apakah Allah melihat aktivitas umat muslim sesuai dengan apa yang dikehendakinya?[9]

     Di jelaskan dalam buku al-Qur’an Kitab Zaman Kita karya Muhammad al-Ghazālī, bahwa yang dimaksud dengan kemenangan yaitu apabila umat Islam benar-benar mampu membudidayakan besi tidak hanya untuk membuat pedang maupun panah, tetapi lebih dari itu. Besi bisa dijadikan sebagai bahan baku pembuatan tank, kapal laut, artileri, dan senjata modern lainnya. Allah Swt. tidak akan memberikan kemenangan kepada umat muslim kecuali dengan memanfaatkan besi untuk pembuatan itu semua. Pertanyaan besar apakah umat muslim sudah merealisasikan sehingga membuahkan hasil sebuah kemenangan? Menurut Muhammad al-Ghazālī umat Islam belum merealisasikan, ia membandingkan dengan orang-orang yang bukan umat Islam. Contoh dalam dunia pertanian, mereka sangat berhasil, sementara lahan pertanian umat Islam tidak dimanfaatkan dengan baik! Menurutnya ini merupakan malapetaka besar yang menimpa umat Islam, dikarenakan jeleknya pemahaman terhadap al-Qur’an. Jadikanlah al-Qur’an sebagai motor penggerak dalam kehidupan, jangan hanya meletakkan al-Qur’an di lemari atau meja karena mengharapkan berkah dengan membukanya dan membacanya satu atau beberapa ayat.[10]   

       Pada akhir surah al-adīd ini terdapat dua ayat wasiat yang ditujukan kepada orang-orang muslim untuk kembali kepada Allah dan mengikuti jejak rasulnya, Allah berfirman[11];

(28) Hai orang-orang yang beriman (kepada Para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(29) (kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Terdapat tiga poin besar dalam surah al-adīd/57: 25, yaitu belaku adil, manfaat besi bagi kehidupan manusia, dan berjuang membela agama Allah Swt.

Pada kesempatan kali ini penulis hanya membahas satu poin dari tiga poin besar yaitu manfaat besi bagi kehidupan manusia. Penulis mengutip buku Wisnu Sasongko, Armagedon 2; antara petaka dan rahmat  sebagai pendukung apa yang ditafsirkan oleh Muhammad al-Ghazālī, yang menjelaskan bahwa besi mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan manusia, selain bermanfaat dalam dunia industri juga bermanfaat bagi kelangsungan hidup  manusia, seperti rumah, pabrik, bangunan, alat peperangan, alat berkebun, alat transportasi darat, laut, udara dan lebih dari itu semua. Perlu kita sadari bahwa sel-sel darah manusia mengandung unsur besi, yaitu berada pada hemoglobin. Unsur besi inilah dengan pengaruh medan magnet bumi, yang menjadikan darah manusia mengalir dengan normal. Maka dengan unsur besi yang berada dalam tubuh manusia ini mampu menerima induksi magnetik, yang dalam skala normal induksi magnetik akan berguna bagi manusia. Bila tubuh ini kekurangan zat besi, maka manusia akan lesu, lemah tidak bertenaga, bahkan bila berlarut-larut akan menyebabkan Anemia (kekurangan darah). Maka layak dan pantas kita memuja dan memuji Tuhan Dialah Allah Swt.

Menurut Dr. Clifford R. Anderson, M.D. menyebutkan bahwa mineral lain yang penting sekali adalah besi, karena termasuk reaksi hidup yang paling utama, tanpa zat ini kita tidak dapat hidup sesaat pun—zat besi sangat penting sekali untuk kelangsungan dan keselamatan seluruh bagian tubuh.

Kandungan zat besi yang ada dalam tubuh kita, yang terbanyak terletak pada sel darah merah, dimana terbentuk hemoglobin. Dan hemoglobin sendiri berfungsi mengalirkan oksigen keseluruh jariangan tubuh dan menjaga kelanjutan hidup kita. Dan tiap-tiap sel darah merah mengandung 250 juta molekul hemoglobin dan satu milyar atom besi, zat-zat besi inilah yang dibawa sel darah merah yang mengalir ke seluruh sel tubuh, sehingga setiap sel organ tubuh dapat menjalankan tugasnya dengan normal.[12] 




[1] Dede Sa’adah, Metode Pemahaman Hadis Menurut Syaikh Muhammad al-Ghazālī (Skripsi di Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta: 2007 M), h.13-14 & 22
[2] Muhammad Al-Ghazali, Al-Qur’an Kitab Zaman Kita; Mengaplikasikan Kitab Suci dalam Konteks Masa kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: PT Pustaka Mizan, 2008), h. 49
[3] Ibid., h.52-53
[4] Muhammad al-Ghazālī, dalam muqaddimah  Nahw Tafsīr Maudhū’i li Suwar al-Qur‘ān al-Karīm (Bairut: Dar al-Masyruq, 1995), cet. 1, h. 5
[5] Ibid,h: 117
[6] Muhammad al-Ghazālī, Nahw Tafsīr Maudhū’i li Suwar al-Qur‘ān al-Karīm (Bairut: Dar al-Masyruq, 1995), cet. 1, h. 47
[7] Ahsin W. al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), h. 88
[8] Jamāʻatu min kibār al-lugawiyyīn al-ʻArab, al-Muʻjam al-Arabī al-Asāsī, 2003. h. 298
[9] Muhammad al-Ghazālī, Nahw Tafsīr Maudhū’i li Suwar al-Qur‘ān al-Karīm (Bairut: Dar al-Masyruq, 1995),cet. 1, h. 444
[10] Muhammad Al-Ghazali, Al-Qur’an Kitab Zaman Kita; Mengaplikasikan Kitab Suci dalam Konteks Masa kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: PT Pustaka Mizan, 2008), h.86
[11] Muhammad al-Ghazālī, Nahw Tafsīr Maudhū’i li Suwar al-Qur‘ān al-Karīm (Bairut: Dar al-Masyruq, 1995), cet. 1, h. 444-445

[12] Wisnu Sasongko, Armagedon 2; antara petaka dan rahmat (Jakarta: Gema Insani, 2008), h.124-125

Post a Comment

0 Comments